Siapa yang tidak kenal Jepara? Kota pengrajin ukiran ini karyanya tidak hanya dikenal di kalangan domestik, melainkan juga di mancanegara. Karena keterkenalannya, penghasilan masyarakat di kota ini tidaklah sedikit, karena setiap hari selalu saja ada orang yang berwisata ke kota kelahiran dari ibu kita Kartini ini. Tetapi jika ada sejumlah orang yang beralih profesi dari seorang pengrajin mebel menjadi seorang kuli bangunan, apa kiranya yang melatari alih profesi ini? Triman adalah salah satu dari mereka. [caption id="attachment_130264" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi-Produksi Mebel Lokal di Jepara/Admin (KOMPAS)"][/caption] Pria berkumis tipis ini nampak murung walaupun pada siang nanti (sabtu, 13/02) ia akan menerima upahan borangan selama 2 minggu kerja. Ia sedih karena hasil dari jerih payahnya semua harus dikirim ke istrinya di kampung untuk membiayai keperluan keluarga. Bukan hanya istri dan anaknya yang harus ia tanggung, tetapi juga mertuanya. Sampai sekarang istri dari seorang kuli bangunan ini pun masih tinggal bersama dirumah orangtuanya. Ia mulai bekerja sejak lulus SD sebagai buruh pertanian di daerah kota ukir tersebut. Padahal kita tahu bahwa sebagian besar masyarakat Jepara ini sebagai pengrajin ukiran. Pria berbadan tegap ini telah memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai buruh pertanian, karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang belum terpenuhi. Ia pun mulai mencoba pekerjaan lain dengan bekerja pada pengusaha pembuat ukiran mebel. Akan tetapi gaji yang ia terima sangatlah kecil sehingga segala kebutuhannya juga tidak tercukupi. Akhirnya, pria yang juga mempunyai seorang anak laki-laki ini pun harus merantau ke Tangerang untuk memulai baru dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Pada waktu itu dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti ajakan temannya untuk merantau ke daerah sekitar Jakarta. Pria yang saat ini berusia 32 tahun, menerima saja ajakan Karman yang berprofesi sebagai mandor bangunan di perumahan daerah sekitar Tangerang waktu itu. Karman adalah seorang pemborong yang diberi kepercayaan oleh sebuah developer di Tangerang untuk memborong pembuatan perumahan bersubsidi dari pemerintah. Karena kekurangan personil, maka ia pulang ke Jepara untuk merekrut orang. Alhasil ketemulah Triman yang memang sebelumnya sudah pernah saling mengenal. Sebelum akhirnya pindah kerja di Cikarang ini, Pria kelahiran pesisir pantai utara ini juga pernah menjadi kuli bangunan di area gedung bertingkat di daerah Jakarta Timur. Triman mulai menggeluti pekerjaan kuli banguna dengan sistem kerjanya borongan. Tiada waktu lain selain bekerja keras seperti yang ia lakukan ini setiap harinya. Jika tidak bekerja lebih keras maka dia tidak akan mendapat hasil yang diinginkan. Setiap hari tenaganya harus terkuras habis untuk bekerja lebih keras. Triman hanya mengambil waktu libur satu hari saja setelah 2 minggu bekerja full time. Pihak developer memberikan upah kepada para kuli bangunan itu setiap 2 minggu sekali. Dalam membuat satu rumah, diperlukan beberapa tim untuk memperlancar proses pembuatan rumah yang diawasi oleh seorang mandor. Setiap tim terdiri dari minimal 2 orang, sehingga perlu adanya kerjasama dalam tim tersebut. Triman termasuk tim plester kasar sampai plester halus, yang terdiri dari 2 orang, ada juga tim pasang bata, tim pasang genteng, tim pasang kayu atap, tim plester kasar dan ngaci (plester halus), tim ngecat tembok, tim buat pondasi, dan masih ada tim yang lain. Sebagian besar para kuli bangunan disini berasal dari daerah tempat asal Triman. Kijo adalah teman satu timnya yang usianya saat ini masih sekitar 22 tahun. Ia tergolong muda di antara para kuli bangunan yang lain. Peraturan dalam pekerjaan kuli bangunan tidak ada, yang penting kerjaan beres dan tidak ada complain dari customer. Sistem kerja-nya borongan terhadap pihak developer dengan perjanjian total Rp 5.000.000,- per rumah. Perjanjian tersebut antara mandor dari para kuli bangunan dengan pihak developer. Mandor akan bernegosiasi dan menentukan upah borongan tersebut kepada kuli bangunan. Mandor bertanggung jawab atas semua proses pembangunan perumahan BTN tersebut, bahkan ketika ada complain dari customer harus siap bertanggungjawab. Kuli bangunan juga bisa menjadi sasaran kemarahan mandor jika pekerjaannya tidak beres, bisa juga dengan pemotongan upah akibat kesalahan kuli bangunan tersebut. Mereka bisa menyelesaikan satu rumah dalam 4-5 hari, jika dalam satu bulan mereka bisa selesaikan 6 sampai 7 rumah sederhana. Penghasilan mereka dalam satu bulan sekitar Rp 1.125.000,- per orang, itu masih kotor dan belum dikurangi dengan biaya hidup. Seperti halnya Triman, harus bisa membagi sedemikian rupa penghasilan itu untuk kebutuhan keluarganya dan biaya hidupnya di Cikarang. Hemat dan sikap prihatin menjadi modal utama bagi Triman untuk bisa mempertahankan hidupnya di Cikarang. Dia juga harus menjaga kesehatan supaya tetap sehat dalam bekerja, karena tidak ada jaminan kesehatan yang diberikan oleh mandor ataupun dari pihak developer. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) pun tidak ada, sehingga mereka harus menanggung sendiri kesehatannya, padahal tingkat resiko pekerja kuli bangunan sangatlah tinggi. Sarana dan prasarana juga tidak diperhatikan, misalnya tidak ada tempat tinggal tetap yang disediakan untuk mereka. Mereka hanya menempati rumah kosong yang baru saja mereka buat, dan mereka akan pindah tempat lagi ketika konsumen sudah mau menempati rumah tersebut. Ini merupakan bentuk ketidakadilan dimana para kuli bangunan harus menanggung semuanya sendiri, sedangkan penghasilan yang mereka dapatkan hanya cukup untuk makan. Kejadian ini jelas berbeda dengan mandor kuli bangunan, dia bisa saja mengatur keuangan sedemikian rupa sehingga dapat mengambil sisa dari jumlah total borongan. Dari segi tanggungjawab kepada konsumen pun tidak sepenuhnya bertanggungjawab, karena masih dilimpahkan kepada tanggung jawab masing-masing tim yang mengerjakan rumah tersebut. Namun hanya karena ketekunan seorang Triman, pria yang sudah mempunyai anak berusia 3 tahun ini tetap bertahan demi untuk mencukupi kebutuhannya. Tetapi ketika ditanya apakah cukup dengan penghasilan yang diterima saat ini? Triman selalu menjawab “Ya, dicukup-cukupin aja.” Padahal pria ini menginginkan untuk pulang kampung setiap satu bulan sekali, karena sangat ingin bertemu dengan sang buah hati dan istri tercintanya. Berapa uang yang harus ia bawa setiap bulannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka? Apakah punya keinginan lain untuk usaha sendiri misalnya? “Aku ada niat untuk usaha sendiri dibidang mebel, selain tempatnya lebih bersih Aku juga akan lebih sering bertemu dengan keluargaku jika tempat usahanya dekat dengan rumahku” begitu Triman menjelaskan tentang masa depan dan harapannya, lalu “Kapan Pak Triman akan memulai usaha permebelan tersebut?” dengan senyuman manis Triman menjawab “Belum tau kapan waktunya Mas, kalo saat ini Aku tidak punya modal untuk itu. Yang penting sekarang mah, bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, itu sudah cukup.” tutur Triman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H