Mohon tunggu...
Andre Situmorang
Andre Situmorang Mohon Tunggu... Administrasi - PhD Student, Juventini

Juventini dan penyuka olahraga yang mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Strategi Baru, Chelsea Sulit Adaptasi

5 April 2017   21:32 Diperbarui: 5 April 2017   21:40 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chelsea saat ini nyaman di puncak klasemen Liga Premier Inggris dengan racikan 3-4-3 ala Conte. Tetapi hal ini tidak diperoleh Conte secara instan. Awal menapakkan kaki di Chelsea, Conte membawa formasi idamannya, 4-2-4. Formasi yang selama di Juventus tidak pernah bisa dia aplikasikan dengan mulus karena berbagai kendala teknis. 

Walau Conte sering diidentikkan dengan pelatih dengan sistem pertahanan yang baik, sejatinya dia bukan lah pelatih yang bertipe bertahan. Conte selalu mengidentikkan dirinya sebagai pelatih bertipe menyerang, dan formasi favoritnya ialah 4-2-4. Hal ini juga ia nyatakan ketika pertama kali ditunjuk sebagai pelatih Juventus.

Tetapi Conte bukan pelatih ortodoks dan kaku. Selama di Juve dia 2 kali mengubah formasi ketika sistem 4-2-4 nya tidak berjalan sesuai dengan yang ia inginkan. Ketika mengawali karir di Juventus, posisi ‘double pivot’ ketika itu diisi oleh Pirlo dan Vidal atau Marchisio. Tetapi sistem menyerang yang Conte terapkan membuat posisi Pirlo sebagai playmaker bayangan (deep-lying playmaker) kala itu rentan ditekan balik oleh lini tengah lawan. 

Hal ini terlihat ketika Juve hanya mampu menang 1-0 dari Siena dan imbang 1-1 melawan Bologna di giornata ke-2 dan 3 Serie A musim 2011/2012. Setelah itu Conte mengubah formasinya menjadi 4-3-3 dengan harapan Pirlo dapat “dikawal” oleh 2 pemain tengah lainnya. Peran pengawal itu jatuh pada Vidal dan Marchisio. Saat itu, kondisi Leonardo Bonucci tidak lah seperti sekarang, ia lebih sering membuat blunder daripada sapuan bersih atau umpan-umpan matang seperti yang sering ditunjukkannya sekarang. 

Melihat adanya potensi pada diri Bonucci dan perlunya memperbanyak pasukan di lini tengah, Conte mencoba mengganti formasi kembali menjadi 3-5-2. Tujuannya sama, “mengawal” Bonucci dengan keberadaan 2 bek tengah lainnya dan menjadikannya ball playing defender, daripada hanya memakainya di sistem 2 bek tengah di mana Bonucci lebih sering “gagap” dalam pertandingan. Sistem ini pertama kali dicoba kala melawan Udinese yang saat ini menerapkan sistem yang sama di giornata 17 musim yang sama. Sistem ini bertahan hingga akhir masa Conte di Juventus. Hasilnya 3 scudetto beruntun bagi Si Nyonya Tua.

Menerima tawaran Chelsea di awal musim 2016/2017 setelah menukangi tim nasional Italia hingga gelaran Euro 2016, Conte membawa mimpinya menggunakan formasi menyerang 4-2-4 di Chelsea. Pakem ini mulai diperkenalkan Conte ke anak asuhannya sejak masa pra-musim. Bahkan dengan sistem ini Conte mampu menang 1-0 dari Liverpool, kalah tipis 2-3 dari Real Madrid, dan menang 3-1 dari AC Milan saat pra-musim. Walau mendapatkan hasil baik, Conte tidak serta merta memakai formasi kesukaannya ini ketika musim Liga Premier Inggris dimulai. 

Mengutamakan keseimbangan dalam tim dan tidak adanya tandem sepadan bagi Diego Costa di lini depan, Conte memilih menerapkan pola 4-1-4-1. Tapi sistem ini tidak bertahan lama, rangkaian hasil buruk yang diperoleh Chelsea setelah imbang melawan Swansea dan kalah 2 kali berturut-turut dari Liverpool dan Arsenal memaksa Conte merombak pola permainan timnya. 

Sukses dengan sistem 3 bek di Juventus dan timnas Italia, Conte memperkenalkan sistem baru ini ke timnya. Sistem 3 bek sebenarnya dirasa kurang cocok dimainkan oleh tim Inggris yang sering kali lebih mengutamakan sisi kecepatan dan fisik dalam bermain bukan sisi teknis taktikal. Tetapi Conte membuatnya seperti mudah bagi Chelsea untuk memahami keinginannya.

Kekurangannya kala itu Chelsea tidak memiliki bek tengah bagus lain untuk menemani David Luiz dan Gary Cahill karena John Terry dan Kurt Zouma cedera. Kejelian Conte melihat potensi pemain membuatnya memilih Cesar Azpilicueta sebagai pelengkap di sistem 3 bek yang ia ciptakan. Victor Moses dan Marcos Alonso yang awalnya bukan pemain utama di Chelsea dibuatnya menjadi pemain kunci sebagai wing back kanan dan kiri di sistem barunya tersebut. 

Tak disangka, sistem baru ini membawa berkah bagi Chelsea yang mampu menciptakan rekor 13 pertandingan menang beruntun dengan total mencetak 32 gol dan hanya kebobolan  4 gol sebelum dikalahkan Spurs di awal tahun 2017. Di antara rentetan kemenangan itu, di antaranya mereka mengalahkan MU dengan skor telak 4-0 dan Everton 5-0. Hasil-hasil baik tersebut juga membawa Chelsea nyaman di puncak klasemen Liga Premier Inggris hingga pekan ke-30 dengan unggul 7 poin dari Spurs di peringkat kedua.

3-4-3 Chelsea ala Conte (chelseafc.com)
3-4-3 Chelsea ala Conte (chelseafc.com)
Tetapi, di pekan ke-30, Sabtu 1 April kemarin, seluruh pendukung Chelsea dan penikmat sepakbola Inggris dikejutkan dengan kekalahan sang pemimpin klasemen dari Crystal Palace dengan skor 1-2. Parahnya, kekalahan ini diderita Hazard dan kawan-kawan di depan pendukungnya sendiri, di Stadion Stamford Bridge. Hal ini membuat para pendukung Chelsea bertanya-tanya, apa yang terjadi hingga Chelsea mampu ditaklukan dengan tim yang tidak diunggulkan, bahkan di kandangnya sendiri. Jawabannya mungkin terletak pada formasi baru yang Chelsea gunakan. Yak, alih-alih menggunakan 3-4-3 yang sudah biasa mereka gunakan,

Chelsea mengubah format pada pertandingan melawan Palace kemarin dengan menggunakan 3-5-2. Penyebabnya, Victor Moses cedera pangkal paha dan Conte tidak memiliki pemain yang dirasa tepat menggantikan perannya di sisi kanan Chelsea. Akibatnya, Conte memaksakan bertanding dengan pemain tengah lebih banyak yang diharapkan mampu menguasai lini tengah dan memaksakan Pedro Rodriguez sebagai wing back kanan. Hasilnya, Chelsea tidak siap dan kemudian kalah. Pemain Chelsea seperti lupa beradaptasi dengan sistem baru ini sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan.

Chelsea sejujurnya tidak bermain buruk, bahkan mampu unggul terlebih dahulu melalui Cesc Fabregas di menit ke-5. Tetapi dua gol berturut-turut di babak pertama dari Wilfried Zaha dan Christian Benteke membawa Chelsea pada kekalahan. Data dari whoscored.com menyatakan Chelsea melakukan 24 kali percobaan ke arah gawang Palace dan 11 di antaranya tepat mengarah ke arah gawang. Penguasaan bola Chelsea juga mencapai 78%, tetapi hanya 1 gol yang dapat diciptakan. 

Duet Hazard-Costa di lini depan tidak mampu menembus ketatnya lini belakang Palace, dewi fortuna belum berpihak pada tim London biru tersebut. Dari situs yang sama, Palace melancarkan 51% serangan dari sisi kanan Chelsea dalam pertandingan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa ketidakberadaan Moses di posisi tersebut menjadi ancaman bagi Chelsea. Pedro yang ditunjuk menggantikan Moses di posisi tersebut tidak bisa menjalankan perannya dengan baik. 

Masih belum jelas kapan Moses dapat kembali bermain, tetapi di tengah pekan ini Chelsea sudah harus menjamu Manchester City di Stamford Bridge. Apakah Conte akan kembali menurunkan skema yang sama? City memiliki Leroy Sane di sisi kiri yang mampu mengobrak abrik sisi kanan Chelsea dengan kapasitas lebih besar dibandingkan Crystal Palace. Mampukah Chelsea bangkit atau persaingan juara Liga Premier Inggris akan menjadi semakin ketat? Kita cermati dalam pertandingan Chelsea ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun