GA 187 dari Kualanamu ke Jakarta siang itu berangkat agak sedikit molor. Pesawat cukup penuh dengan penumpang. Sejak pesawat take off memang kantuk tak dapat dilawan. Jadi sepertinya memang cukup lama juga tertidur sebelum akhirnya terbangun karena sayup-sayup suara pramugari yang sedang menawarkan lunch box kepada penumpang di kursi belakang: “Ibu, nasi ayam atau nasi ikan bu ? Bapak bagaimana ? Nasi ayam atau ikan ? Hanya ada dua pilihan pak…”
“Nasi ayam, nasi ayam, nasi ayam, nasi ikan, nasi ayam.” Dan seterusnya begitulah terdengar keputusan para penumpang di kursi belakang. Mayoritas penumpang memilih nasi ayam, hingga tiba pramugari menawarkan menu siang itu di barisan tempat duduk kami. Dari lima penumpang di barisan kami duduk ternyata tiga penumpang (termasuk saya) memutuskan mengambil nasi ikan. Lunch box nasi ikan GA 187 siang itu diberi stiker biru kecil dengan gambar ikan. Sementara nasi ayam diberi stiker kecoklatan dengan gambar ayam. Entah berapa persisnya porsi lunch box nasi ikan dan nasi ayam siang itu yang disiapkan oleh GA 187. Tapi cukup terdengar mayoritas penumpang memilih nasi ayam. Lunch box nasi ayam yang sekilas berisi nasi putih dengan irisan ayam yang tampak seperti dimasak kari serta irisan sayur-mayur jagung muda dan wortel kalau tidak salah…tapi entahlah karena sekilas saja melirik. Sementara dalam lunch box nasi ikan yang saya pilih tampak irisan ikan goreng tepung yang masih tetap terasa gurih walaupun tidak garing lagi dan irisan tumis kacang panjang. Enak kok nasi ikannya. Ikan sudah di-fillet dan digoreng tepung, jadi tidak ribet menikmatinya. Cuma saja sempat terpikir berapa banyak penumpang yang memilih nasi ikan kalau mendengar mayoritas pemilih nasi ayam di pesawat itu.
Sementara saya terkagum-kagum dengan ibu menteri Kelautan dan Perikanan yang kerap jadi pemberitaan karena aksinya menghajar pencuri ikan dan turut mengamankan kekayaan laut Indonesia, saat itu pula saya menjadi bertanya-tanya dalam hati bagaimana mindset masyarakat Indonesia saat ini soal makan ikan itu ?
Pujasera Windsor Food Court Batam suatu ketika, sekelompok pekerja asing asal Jepang dengan nikmatnya menikmati ikan masak kari, kuah kari kental yang sangat mengundang air liur. Entah ikan laut jenis apa yang dimasak kari itu, semuanya mereka yang menikmati tampak memejamkan mata sejenak seraya mengucap “oishii…” begitu mengecap ikan masak kari tersebut. Itu baru soal makan ikan saja. Soal produk makanan yang berasal dari kekayaan laut lainnya ?
Suatu ketika, seorang kolega yang sempat membuat saya terheran-heran karena dalam profesinya yang biasanya menuai mata minus dan tak dapat meninggalkan kaca mata ternyata dengan bangganya ia membanggakan resep tradisional masyarakat Bangka Belitung tempat ia tumbuh besar yang kerap menggunakan tinta cumi sebagai bagian dari menu sehari-hari masakan rumah. Hasilnya sudah terbukti, matanya aman-aman saja walaupun profesinya memiliki risiko menuai mata minus.
Bagaimana dengan udang ? Kalau sudah di Makassar, rasanya sering lupa daratan dan sedikit kalap bila bertemu dengan udang yang menggiurkan itu.
[caption id="attachment_344819" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri. : menu buffet di Grand Clarion, Makassar"][/caption]
[caption id="attachment_344820" align="aligncenter" width="600" caption="dokpri. : Nasi goreng tinta cumi yang gurih, siapa mau coba ?"]
Ya sudah, begini saja kembali ke menu utama: Nasi Ayam atau Nasi Ikan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H