Mengawati Melanggar UU Tindak Pidana Korupsi?
Puncak perlakuan istimewa kepada para obligor diberikan semasa Megawati memerintah. Presiden RI ke-6 itu menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Atau dikenal juga dengan inpres tentang release and discharge (Inpres R & D)
Dampaknya, masalah debitor BLBI dianggap sudah selesai dengan membayar 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Mereka mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN. Berbekal SKL mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3).
Dengan “berlagak miskin”, lagi-lagi sebagian besar utang debitur BLBI dibayar dengan aset yang nilainya rawan penggelembungan itu. Pada akhirnya, tercatat Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan telah memanfaatkan keistimewaan ini. Dan kini, berapakah harta kekayaan yang mereka miliki?
Kecuali itu, Inpres R & D itu juga merupakan intervensi terhadap proses hukum. Dalam proses ini, dapat diduga Presiden Megawati telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau melampaui batas kewenangan presiden dan penerbitan inpres itu. Inpres itu jelas bertentangan dengan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999, yang berbunyi: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
Lantas, mengapa Megawati sampai meneken Inpres R & D tersebut? Beberapa kalangan menduga Megawati ditekan oleh konglomeret hitam dan menteri-menterinya. Beralasan bahwa para obligor itu memiliki kekuatan jaringan ekonomi yang besar, Presiden didesak untuk menganak-emaskan mereka. Kalaupun ini benar, Megawati tetap tidak dapat lari dari tanggungjawabnya. Bagaimanapun, waktu itu Megawati adalah pimpinan tertinggi pemerintahan, yang nyata-nyata telah menandatangi persetujuannya atas penerbitan Inpres R & D.
Berharap pada KPK
Spirit penuntasan BLBI pernah mengemuka semasa KPK dipimpin Antasari Azhar. Saat itu Antasari Azhar pernah membentuk empat tim untuk melakukan penyelidikan kasus BLBI. Semasa Abraham Samad memimpin KPK, penjualan aset grup milik Sjamsul Nursalim oleh BPPN juga sedang ditelisik. KPK menduga Sjamsul Nursalim masih berutang Rp 3,8 triliun karena asetnya tak cukup untuk melunasi tunggakan utang itu. Tetapi berkat Inpres R&D, Sjamsul Nursalim akhirnya mendapatkan SKL.
Kesamaan dari kedua kasus ini adalah Antasari Azhar dan Abraham Samad sama-sama secara mendadak dijerat oleh pasal pelanggaran hukum. Uniknya, polisi juga menyita berkas kasus BLBI dari meja Antasari dan Samad.
Belakangan muncul kabar bahwa KPK merasa perlu meminta keterangan dari Megawati terkait SKL BLBI yang berlandaskan pada Inpres R & D. Kendati pun sudah memanggil mantan Rizal Ramli, Kwik Kian Gie dan Rini Suwandi. Tetapi, rencana meminta keterangan Megawati lenyap mendadak. Bahkan, mulai beredar pula kabar bahwa kasus BLBI ini akan kadaluarsa pada tahun ini. Solusinya menurut Manajer Advokasi-Investigasi FITRA Apung Widadi adalah penerbitan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) baru sehingga kasus ini dapat diteruskan.
Bagaimanapun kasus BLBI adalah induk dari kasus korupsi di Indonesia. BLBI adalah pertarungan yang sesungguhnya untuk membuktikan ‘nyali’ KPK. Lawannya adalah para konglomerat hitam. Kalangan yang disebut-sebut menjadi bohir di belakang kontestasi pemilu di Indonesia, sehingga mereka bukan hanya memiliki kekuatan secara finansial yang tak terbatas, tetapi juga jaringan yang menyebar di aparatur pemerintahan pusat. Pertanyaannya, beranikah KPK?