Besok adalah Hari Antikorupsi Internasional, barangkali karenanya saya kemudian teringat perihal Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). Kita tentu mengapresiasi langkah Jokowi dan aparat hukumnya untuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi. Tetapi, kasus-kasus itu hanya ibarat ikan kakap jika dibanding BLBI yang sebesar paus. Dalam sejarah kasus korupsi di Indonesia, BLBI adalah yang terbesar.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krismon 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Menurut Manajer Advokasi-Investigasi FITRA Apung Widadi, kerugian kasus BLBI yang semula bernilai Rp 650 triliun pada 1998 terus membengkak hingga Rp 2.000 triliun pada 2015. Hingga kini, kerugian negara akibat korupsi ini masih menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Bahkan, kerugian diprediksi masih harus ditanggung oleh negara hingga 2043. Kejahatan ini dia nilai sebagai penyebab defisit yang berujung pada ketergantungan pada hutang luar negeri.
Memang, pada November 2014, Wapres Jusuf Kalla pernah menyebut bahwa setiap tahun pemerintah harus membayar Rp 125 triliun untuk menutupi bunga BLBI ke negara-negara yang memberikan pinjaman. Betapa besarnya.
“Merampok” Bank Sendiri
Kasus BLBI seperti benang kusut. Karenanya agar tidak melebar saya akan membahasnya hanya dari perspektif obligator/debitur BLBI semata. Jadi ceritanya begini. Setelah dana BLBI dikucurkan, ternyata pelbagai bank yang menerima dana tersebut tidak bisa membayar utangnya. Alasannya klasik. Dana yang ditarik besar-besaran oleh masyarakat ternyata sudah diinvestasikan pada perusahaan-perusahaan. Solusinya BLBI dikonversi menjadi saham-saham. Sontak, pemerintah mempunyai hampir 200 bank.
Masalahnya, jauh sebelum BLBI diturunkan, para pemilik bank ternyata sudah “merampok” banknya sendiri. Selama berpuluh tahun, mereka menerima kredit amat besar dari banknya sendiri yang dipakainya untuk mendirikan perusahaan-perusahaan. Keluarga Salim contohnya. Saat masih menjadi pemilik BCA, perusahaan-perusahaan keluarga Salim itu mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun. Hal ini nyata-nyata telah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) seperti diatur dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun 1998. Terlebih karena pengemplang itu belakangan tidak memiliki dana buat membayar utangnya.
Karena mantan pemilik bank itu tidak memiliki uang tunai, maka pemerintah minta supaya dibayar dengan perusahaan-perusahaan atau asset apa saja. Padahal penilaian asset sangat relatif sifatnya, dan realisasi nilai sangat tergantung dari waktu, situasi dan kondisi. Ekonom INDEF, Aviliani, mencatat berdasarkan audit investigatif dari nilai komersial dari jaminan aset para pemilik bank yang bermasalah dan para obligor, yang kemudian dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ternyata hanya sebesar 8,54% atau ekuivalen dengan Rp 12,35 triliun.
Celakanya, dalam kondisi dan situasi ekonomi yang sedang sangat terpuruk, pemerintah malah membabi-buta menjual aset-aset itu. Akibatnya, harganya pun jatuh. Menurut Kwik Kian Gie, recovery rate penjualan aset itu sekitar 15%. Artinya, nyata-nyata negara menderita kerugian sekitar 85% dari nilai aset-aset para pengemplang BLBI itu. Apa-apaan ini?
Ironisnya, menurut catatan Marwan Batubara, sebagian obligor diketahui telah kembali menguasai aset-aset yang dulu diserahkannya kepada BPPN. Misalnya Chandra Asri yang telah kembali ke tangan Prajogo Pangestu, juga Gajah Tunggal yang kembali dimiliki Sjamsul Nursalim. Aset bekas milik Humpuss (PT Timor Putra Nasional) kemudian dibeli oleh PT Vista Bella Pratama yang merupakan perusahaan terafiliasi Humpuss juga. Hal ini dan beberapa hal lainnya, membuat Marwan Batubara meyakini bahwa terjadinya perilaku KKN yang dilakukan BPPN sehingga pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus ini tidak terlaksana optimal.
Tragisnya, beberapa obligor yang dulu mengaku tak sanggup melunasi utangnya sekarang malah tercatat dalam daftar nama orang-orang terkaya di Indonesia. Daftar orang kaya versi Forbes 2014 mencatat harta kekayaan mereka dengan kurs 1US$ = Rp 13.000, masing-masing : Sukanto Tanoto (Rp 27,3 triliun), Sjamsul Nursalim (Rp 10,79 triliun), The Ning King (Rp 8,45 triliun). Group Salim diwakili oleh Anthoni Salim & family (Rp 76,7 triliun). Kecuali itu, Kartini Muljadi yang pernah mendapat tugas sebagai penasehat hukum Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tercatat memiliki harta sebesar rp 14,3 triliun. Ada apa ini?