Suasana pagi yang cerah menyambut hari, dan Maryati masih terlelap di tempat tidur, mungkin karena dia jarang tidur nyenyak akhir-akhir ini. Ketika dia akhirnya bangun, dia merasakan kedamaian setelah tidur yang panjang. Maryati berjalan masuk ke ruang tamu, di mana di atas tikar merah sudah terpajang hidangan sederhana berupa nasi dan telur rebus. Dia melihat sekelilingnya tanpa menemukan Pardjo, namun dari jendela yang gordennya terbuka, dia melihat Pardjo sibuk menyiapkan ubi rebus dan singkong di halaman depan untuk dijual di pasar.
     Lalu Maryati mendekati Pardjo di halaman depan, bertanya, "Siapa yang memasak semua hidangan di ruang tamu, Mas?".
   "Dimakan saja, tak perlu tahu siapa yang membuatnya." jawab Pardjo dengan santai tersenyum sambil memasukkan ubi dan singkong ke dalam tempat yang menyerupai tong di sepedanya
  "Mas, kita makan sama-sama ya," ajak Maryati pada Pardjo. Pardjo menoleh ke arahnya dan tersenyum ramah.
   "Ya sudah, aku akan menemanimu makan," jawab Pardjo. Mereka berdua masuk ke ruang tamu yang sekaligus menjadi tempat makan.
   "Sebenarnya apa yang terjadi sehingga kamu tidur di depan toko tadi malam? Ceritakan saja, aku akan mendengarnya." tanya Pardjo sambil menyendok makannya. Maryati seperti terkejut oleh pertanyaan itu, dia mengambil napas dalam-dalam, terdiam sejenak, dan akhirnya berkaca-kaca menanggapi pertanyaan tersebut. Tak lama isak tangisnya terdengar
   "Eh, kok nangis? Ada apa? Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" Pardjo langsung menanggapinya,
   "Aku, terpaksa seperti ini, Mas." jawab Maryati dengan suara lirih dan air mata mengalir di pipinya
   "Terpaksa apa, Maryati? Terpaksa karena apa?" tanya Pardjo terkejut menghentikan kunyahan makannya.
  "Aku ini, istri seorang anggota PKI. Aku diusir dari kampungku karena mereka anti dengan PKI. Setelah penumpasan dan penangkapan anggota PKI, suamiku menghilang entah ke mana," ucapnya pelan, sambil menahan tangis
   "Setelah kejadian itu, warga kampung mengusir aku, Mas, dan saya menjadi gelandangan," ucapnya lagi sambil terisak dan  mengelus perutnya yang kini bulan ke-3 mengandung.
Pardjo mendengarkan dengan hati tersentuh, matanya melihat tangan Maryati yang lembut menyentuh perutnya. .... bersambung