Dalam pelariannya, setiap malam dia sering tidur di depan toko dengan menggunakan kardus sebagai alas. Suatu malam, seorang lelaki yang baru saja pulang berjualan dengan sepedanya mendekatinya dan bertanya, "Kenapa, mbak tidur di depan toko?"
   "Saya, merantau dari Jawa, tapi saya kehilangan jejak alamat saudara." Maryati menjawab dengan hati-hati dan menjaga rahasianya agar lelaki itu tidak bertanya lebih detail. Lelaki itu mengangguk.
  "Sejak kapan sudah tidur di sini?" tanya lelaki itu masih duduk di sepedanya
  "Sudah seminggu, Mas," jawab Maryati.
  Lelaki itu  mengangguk lagi
  Setelah percakapan di malam yang sunyi itu, Pardjo membawa Maryati ke kontrakannya tanpa ada kecurigaan dari Maryati bahwa hal buruk akan terjadi. Yang terlintas dalam pikirannya hanyalah keinginan untuk kembali hidup normal, dan memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga ia tidak lagi harus hidup tanpa tempat dan dia ingin menyelematkan bayi yang di kandungnya.
Â
   "Nanti kalau ditanya oleh tetangga di sini, bilang kamu istri saya dari Pemalang, ya. Jangan bilang kita baru bertemu," ujar lelaki itu setelah tiba di ruang tamu yang sederhana di rumah kontrakannya. Maryati hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun.
Kontrakkan Pardjo terdiri dari ruang tidur yang langsung berhubungan dengan ruang tamu, hanya dibatasi oleh gorden, dan bagian belakangnya hanya terdiri dari kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur.
   "Kamu tidur di kamar, aku tidur di sini," ucap Pardjo sambil menunjukkan tikar merah di ruang tamu. Lagi-lagi, Maryati hanya mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Dia masih bingung dengan maksud Pardjo membawanya ke rumahnya.
Suasana menjadi tenang sejenak sebelum Pardjo melanjutkan, "Kalau mau mandi, kamar mandinya ada di belakang," sambil menunjukkan arah kamar mandi. Maryati kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk mandi.
                                                                 ***