Tahun 2014, usiaku menginjak 22 tahun, dipanggil Damar. Sejak memasuki semester awal kuliah, aku tinggal di Kota Depok, menyewa kamar kosan di "Juragan Kosan". Nama kosan itu terdengar lucu, tapi ada sejarah dibalik nama itu yang sering aku dengar tentang pemiliknya,  Nenek Maryati.
    Cerita nenek Maryati yang aku dengar dari ibu pemilik warung makan di dekat kosan, selalu menarik perhatianku, sehingga aku kadang-kadang ikut menguping dan sesekali bertanya. Aku memang seorang mahasiswa yang suka ingin tahu alias ingin mengetahui segalanya
   Sementara aku kuliah di Depok, kedua orang tuaku menetap di Bandung, jadi aku belajar hidup mandiri di Depok. Aku memiliki dua adik, seorang perempuan, berusia 20 tahun dan seorang laki-laki, berusia 18 tahun. Ayahku adalah seorang guru PNS, sementara ibuku menjalankan usaha catering dan kantin di sebuah sekolah dekat jalan Merdeka. Meskipun gaji guru cukup, biaya sekolah untuk kami bertiga membuat ibuku turut membantu mencari nafkah.
    Lupakan sejenak cerita tentang keluargaku. Bukan berarti keluargaku tidak menarik untuk diceritakan, tetapi saat ini aku lebih tertarik untuk menceritakan tentang pemilik kosanku alias Juragan Kosan, yaitu Nenek Maryati. Di lingkunganku, hampir semua orang mengenalnya. Nenek Maryati adalah sosok yang memiliki banyak cerita dan kebaikan, serta dikenal sebagai orang yang sangat peduli terhadap para penghuni kosannya.
   Setiap kali ada masalah atau kebutuhan di kosan, Nenek Maryati selalu siap membantu dengan senyuman hangatnya dan nasihat bijaknya. Dia juga sering mengadakan acara sosial atau kebersamaan di kosan untuk mempererat tali persaudaraan antar penghuninya. Kehadirannya memberikan warna tersendiri bagi kami, para penghuni kosan, membuat tempat ini terasa seperti rumah kedua yang nyaman dan aman. Meskipun, beliau sudah berusia lanjut, semangatnya dalam mengurus kosan dan melayani penghuninya tidak pernah luntur. Itulah mengapa nama "Juragan Kosan" tidak hanya lucu, tetapi juga memiliki makna yang dalam bagi kami yang tinggal di sini.
   Namun, dibalik cerita yang telah aku ceritakan diawal, ada sisi lain dari Nenek Maryati yang mungkin ingin aku bagikan kepada kalian. Sebelum Nenek Maryati dan keluarganya menjadi juragan kosan, terdapat perjalanan hidup yang penuh dengan liku-liku dan pengalaman berharga yang membentuknya menjadi sosok yang aku kenal hari ini.
  Nenek Maryati. Dia adalah seorang janda berusia 65 tahun. Diusianya yang sudah senja, namun, ia masih terlihat rapih dan cantik dengan rambut putih yang disanggul. Nenek Maryati, asli Kota Depok, selalu menggunakan bahasa Sunda. Dia adalah ibu dari Nurhayati yang berusia 45 tahun dan cucunya bernama, Linda yang berusia 26 tahun. Kamu pasti akan terkejut mengetahui bahwa mereka semua adalah single mother atau yang biasa disebut janda, dan mereka tinggal di bawah satu atap, di rumah Nenek Maryati.
   Menurut pemilik warung makan langgananku, suami Ibu Maryati, Pak Dahlan, adalah seorang aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah Gerakan September 1965, Indonesia gencar menumpas anggota dan pengikut PKI, dan pada masa itu, sikap anti-PKI sangat kuat. Meski Pak Dahlan bersembunyi di hutan di area Depok, tentara Indonesia tetap berhasil menemukannya. Dia ditangkap dan dibawa ke markas besar TNI, dan sejak saat itu, Ibu Maryati tidak pernah mendengar kabar tentang suaminya lagi. Ketika peristiwa itu terjadi, Ibu Maryati baru berusia 16 tahun dan baru saja menikah, namun nasib malang membuatnya kehilangan suaminya dalam sekejap.
   Tahukah kamu apa yang terjadi setelah suami nenek Maryati ditangkap oleh TNI? Karena doktrin anti-PKI yang kuat di masyarakat saat itu, nenek Maryati menjadi korban meskipun dia tidak tahu-menahu tentang kegiatan suaminya. Hubungan pernikahannya dengan Pak Dahlan membuat dia juga menjadi sasaran kebencian. Tetangganya membenci dan mencurigainya, bahkan menyuruhnya pergi dari kampungnya di Depok, karena mereka menganggap Maryati adalah antek PKI.
   Situasi semakin sulit baginya. Kehidupannya berubah drastis ketika penduduk desa, dipengaruhi oleh kebencian dan ketakutan terhadap PKI, menyalahkan dan mengucilkannya. Meskipun Nenek Maryati tidak terlibat dalam aktivitas suaminya, stigma dan tuduhan tetap mengejarinya. Di tengah kehamilan Nurhayati, Nenek Maryati akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran tetangganya untuk pindah ke daerah yang jauh dari Depok, demi keselamatan dirinya dan bayinya yang belum lahir. Meskipun dipenuhi kesedihan dan kekecewaan, dia melaksanakan langkah kepindahan tersebut tanpa menceritakan detail kepada siapapun, menjaga kerahasiaan dan keamanannya sendiri.
                                                                ***