"Rama ingin jadi dokter ayah, biar bisa membantu orang miskin yang sakit tidak bayar." .
"Rama. Semangat dan impianmu semoga terwujud ya nak," Pak Adi tersenyum bangga
Keduanya duduk dalam keheningan sejenak, merenungkan makna dari percakapan mereka. Di bawah cahaya rembulan yang lembut, ikatan antara Ayah dan anak, antara laut dan dokter, terasa semakin erat. Mereka tahu bahwa dalam menghadapi gelombang kehidupan, mereka akan selalu memiliki satu sama lain untuk saling mendukung. Meskipun terbatas secara finansial, ayah Rama, Pak Adi, menumbuhkan ambisi anaknya dengan dukungan tak tergoyahkan.Â
"Mimpi-mimpimu adalah kompas yang membimbingmu melalui badai kehidupan," begitulah katanya seraya menepuk-nepuk pundak Rama
***
Pak Adi memegang selembaran beasiswa Fakultas Kedokteran dari Dinas Kesehatan, matanya bersinar penuh harapan saat dia menunjukkannya pada Rama yang duduk di sampingnya di tepi pantai.
"Rama, anakku," ucap Pak Adi dengan suara penuh kehangatan.
"Ayah membawa sesuatu yang mungkin bisa menjadi jalan untuk mewujudkan impianmu menjadi dokter."
Rama memandang selembaran tersebut dengan perasaan campuran antara kegembiraan dan keheranan. Dia mengambilnya dengan lembut, tangannya hampir gemetar saat membaca informasi yang tertera.
"Ini...beasiswa untuk pendidikan kedokteran?" tanya Rama, matanya berbinar mencerna setiap kata yang tercetak di atas kertas itu.
"Ya, anakku. Ayah tahu betapa kuatnya keinginanmu untuk belajar menjadi dokter dan membantu orang lain. Mungkin ini adalah kesempatan yang kamu tunggu-tunggu untuk mewujudkan impianmu." Pak Adi mengangguk mantap.Â