Tadi malam sebelum tidur, terbayang di benak saya tentang anak-anak yang menjadi korban bom di gereja, khususnya dari pihak pelaku. Seandainya bisa bertemu, ada yang ingin saya tanyakan kepada mereka, yaitu tentang cita-cita mereka.Â
Bayangan itu segera saja sirna ketika membayangkan apa yang terjadi pada mereka. Jangan-jangan itu memang cita-cita mereka. Mati membela apa yang mereka yakini, yaitu sebagai korban (yang mereka pikir) membela agama.
Perih hati saya membayangkan kematian anak-anak tersebut. Dulu, cerita emak, di usia mereka, sebelum tidur saya selalu bersikeras mendengarkan lagu wajib yang diputar di televisi setiap pukul 19.30 WIB, yaitu lagu "Garuda Pancasila".Â
Kelak lagu tersebut menjadi lagu pamungkas ketika diminta guru SD untuk menyanyikan lagu wajib di depan kelas. Lagu wajib lainnya buat saya tentu saja lagu "Maju Tak Gentar", setidaknya berani maju tak gentar menyanyikan lagu wajib di depan kelas dengan nada ala kadarnya. Menyanyi, dari dulu hingga sekarang tetap jadi aib buat saya.
Ilustrasi tersebut barangkali tidak pas untuk mengambarkan masa lalu dan masa kini anak-anak, karena kenyataannya dulu hanya ada satu saluran televisi, sedangkan sekarang banyak pilihan. Selain itu, dulu lagu yang selalu diputar di prime time televisi adalah "Garuda Pancasila". Sekarang, selain jingle iklan, lagu yang paling sering diputar di prime time adalah lagu mars partai. Saya tidak heran kalau anak balita seorang ibu yang bekerja di MPR hafal diluar kepala lagu tersebut. Duh, suram nian hidup kalian sekarang nak...
***
Kamis (10/05) yang lalu rekan-rekan blogger di Bali kedatangan tamu. Bukan tamu sembarangan, tapi tamu kehormatan dari salah satu lembaga negara yang salah satu tugasnya mengangkat dan memberhentikan presiden. Tahu dong lembaga apa itu? Betul. MPR RI.
Pada mulanya saya kurang tertarik dengan info yang saya dapatkan perihal kedatangan tamu kehormatan tersebut, apalagi menjelang pilgub dan pilpres. Oh, tidak.., tidak... Cukuplah saya melihat raut wajah para politisi di layar kaca.Â
Janji-janji manis dan kalimat-kalimat retoris yang mereka sampaikan takkan membuat saya lebih pintar, malah mengurangi keceriaan indahnya hidup di Bali. Bagi saya, semua isi kepala politisi sama saja, entah DPR atau MPR.
Dugaan saya keliru. Ternyata tim pembicara dari MPR bukanlah politisi yang berasal dari partai tertentu dan tidak ada kaitannya dengan pilgub dan pilpres.Â
Mereka yang hadir ada 4 orang, yaitu Sekretaris Jendral, Ma'ruf Cahyono, Kepala Biro Humas Sesjen, Siti Fauziah, Kepala Bagian Pengolah Data dan Sistem Informasi (PDSI) Andrianto, dan Kepala Bagian Pengawasan Rharas Estining Palupi. Salah seorang diantara mereka bahkan sudah berkarir di MPR kurang lebih 25 tahun. Jadi, kalau bukan terkait dengan pilgub dan pilpres, kira-kira apa yang akan disampaikan oleh tamu kehormatan dari ibukota negara tersebut? Penasaranlah saya karena hal tersebut.
Ada 4 poin penting yang disampaikan pada kegiatan yang diberi judul "Netizen Bali, Ngobrol Bareng MPR" tersebut. Keempat poin tersebut pada mulanya disebut 4 Pilar kebangsaan. Pencetusnya adalah Taufiq Kiemas, salah satu tokoh politik di Indonesia. Dengan sebutan tersebut banyak yang kurang setuju, lalu digantilah istilahnya menjadi 4 Pilar MPR RI. Apa sih yang membuat banyak yang tidak setuju? Mari kita bahas lebih lanjut.
4 Pilar MPR RI, yang dahulu bernama 4 Pilar kebangsaan terdiri dari (1) Pancasila (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (3) Bhinneka Tunggal Ika, dan (4) NKRI.Â
Hal yang dipermasalahkan dengan istilah "4 Pilar Kebangsaan" adalah bahwa tidak pantas mensejajarkan Pancasila sebagai dasar negara dengan 3 pilar lainnya. Akhirnya diputuskanlah istilah "4 pilar kebangsaan" menjadi "4 pilar MPR RI". Menurut penuturan Rharas, itu hanya permasalahan semantik belaka, bukan terkait dengan pelaksanaan tugas MPR.
Lalu, apa manfaat pengetahuan akan 4 pilar MPR RI buat kita, masyarakat awam yang dalam kehidupan sehari-hari jauh dari istilah ketatanegaraan dan kegiatan tata negara? Bicara tentang 4 pilar MPR RI tidak bisa dilepaskan dari jatidiri bangsa. Bagaimana kembali ke musyawarah untuk mufakat daripada langsung mekanisme voting ketika memecahkan masalah bersama, bagaimana kembali ke kesopanan, baik di depan orang tua maupun teman sebaya, dan bagaimana saling menghargai perbedaan.Â
4 Pilar MPR RI sebenarnya berbicara tentang konsep, terkait pada sisi kognitif (pikiran) manusia dibandingkan sisi perasaan (afektif), maupun psikomotorik. Sehingga, hasil awal manfaat pemahaman 4 pilar MPR RI adalah perubahan pola pikir dalam kehidupan sehari-hari. Sampai di sini, saya hanya manggut-manggut tanda mengerti dan tentu berusaha mengingat pengetahuan tersebut.
***
Bicara jatidiri bangsa bukan hal yang ringan, apalagi dikaitkan dengan situasi akhir-akhir ini. Diskusi dengan MPR RI mengingatkan saya pada apa yang disampaikan oleh Stephen Covey dalam bukunya "Seven Habit of Highly Effective Peoople". Kurang lebih begini bunyinya,Â
"Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib."Â
Artinya, untuk membangun karakter ataupun jatidiri, tidak cukup dengan hanya membaca buku atau mengikuti seminar dan pelatihan penuh selama satu minggu saja, namun dibutuhkan sebuah mekanisme pembiasaan yang dilakukan berulang-ulang secara terarah, nyaris seperti indoktrinasi.
 Hal ini jadi tugas yang tidak ringan, apalagi diemban hanya oleh lembaga negara yang bernama MPR RI, karena 4 pilar MPR RI hanya dalam level gagasan, ide, dan konsep. Karena itu mari kita bersama-sama mewujudkan jatidiri bangsa yang diawali dari pemahaman 4 pilar tersebut. Mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari yang paling mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H