Ada apa dengan Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya?
Dalam tempo 6 minggu ludes 150 ribu kopi. Di toko buku Gramedia Sudirman Yogya, stok 100 eksemplar laku terjual dalam sehari. Di Tiktok, videonya bertebaran dalam aneka rupa tampilan. Potongan halaman, cuplikan tulisan, berkelebatan di media sosial dan messenger. Â
Buku bertajuk Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? Bikin geger dunia perbukuan Tanah Air yang telah lama kehilangan kejutan. Â
Mungkin benar, bahwa media sosial semacam Tiktok menjadi booster atas sebaran informasi. Tetapi jangan lupa, kalau mengamati konten-konten yang dibuat di akun Catatan Khairul Trian --sang penulis- belakangan juga kian berkembang tidak melulu semacam show case halaman. Melainkan melibatkan pula audiens lewat beragam impresi terhadap tulisan-tulisan Khairul di buku tersebut.
Apa impresi yang hadir di keragaman para pembaca buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? Yang dihadirkan oleh kreativitas konten tersebut?
Tidak lain sebuah benang merah atas perasaan-perasaan yang sama pada sosok ayah. Entah masih hidup atau telah berpulang. Benang merah itu muncul atas reaksi usai membaca kalimat demi kalimat tuturan Khairul yang berbeda dengan kebanyakan penulis.
Harus diakui daya intuitif pilihan kata dan diksi yang dipakai oleh Khairul memiliki kemampuan menguras mata pembaca. Sebuah hal tak lazim yang justru lebih sering ditemui di kalangan penonton film drakor. Atau kalaupun dalam format teks hanya terjadi ketika si bucin usai membaca surat putus cinta.
Khairul tidak menggunakan penuturan story telling, sebuah jurus yang kerap disebut sebagai tren masa kini dalam penuturan. Ia juga tak memakai gaya bahasa maupun metafora yang berbunga-bunga. Alias tidak puitis, tidak berbahasa sastra layaknya buku-buku kesusasteraan.
Barisan kata dalam kalimat-kalimat pendek Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? jelas lebih disebut sebagai bahasa ucap (verbal). Kemudian dikemas menjadi monolog dalam sebuah bangunan yang menarasikan hubungan antara ayah dan anak. Kendati keduanya terceraikankan oleh batas yang memisahkan dua alam.
Khairul membangun relasi narasi tersebut dalam berbagai situasi. Lalu di situlah setiap diksi dikonstruksikan hingga begitu mendalam. Plus pilihan kata yang gampang dicerna itu menjadi punch line dengan efek haru total. Jadi cukup dengan membaca satu halaman yang di-layout menyerupai bait puisi itu sudah cukup memicu derai air mata.
Agar banjir air mata tentu bukan tujuan dibuatnya buku ini. Buku bersampul hitam dengan desain sederhana yang eye catchy ini sebenarnya hanya ingin mencolek kesadaran relasi manusia. Antara bapak dengan anak. Selanjutnya terserah kepada pembaca.
Keberhasilan mengemas model "pemasaran" buku Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? bisa jadi benchmark bagaimana seharusnya menerbitkan buku juga perlu strategi. Simak bagaimana Khairul bersama penerbitnya (Gradien Mediatama, Yogya) berkali-kali tak gentar menggelar ajang temu penulis.
Dari frekuensinya itu lalu seperti memahami situasi yang akan terjadi pada audiens offline-nya. Yakni, ketika beberapa sample audiens diminta membaca selembar atau lebih halaman. Hasilnya? Hampir di setiap acara review buku atau bedah buku, jatuh "korban" tangis.
Event disulap menjadi konten. Trik ini memancing munculnya konten-konten relevan lainnya. Insiatif kreator-kreator konten lain menambah panjang ekor viralnya nama Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? Bahkan dalam satu konten berupa ekspresi sedih sangat seorang perempuan pasca membaca menuai 5 juta views dan lebih dari 250 ribu likes. Menghadirkan tak kurang dari 735 komentar yang senada di Tiktok.
Ayah, Ini Arahnya ke Mana, Ya? adalah fenomena. Menyentil siapa saja pembaca tak kenal usia. Termasuk gen Z yang disebut-sebut banyak riset dianggap malas membaca.
Buktinya Khairul dan Gradien Mediatama berhasil menawarkan "teman" berbentuk buku yang dikemas berbeda terbalik dengan segala teori mutakhir penulisan. Kesederhanaan yang mudah dimengerti dan ya, narasi buku ini yang pesannya terasa "gue banget" bagi anak-anak gen Z (dan lainnya) terasa lebih mengena.
Di jagad dunia maya, menerobos aneka konten berbasis buku. Tentulah dengan segala kreativitasnya yang lebih tak terbatas lewat Tiktok dan sejenisnya. Keduanya (produk dan promosi) membuat buku tetap laku.
Dan, lagi-lagi inilah Indonesia. Setiap lahir buku best seller yang viral, di belakangnya muncul buku-buku bajakan. Ayah, Bisakah Engkau Lumpuhkan Para Pembajak Itu? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H