Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengukur Performa Jurnalis Masa Kini

9 Juli 2024   19:18 Diperbarui: 9 Juli 2024   19:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang jurnalis online berkeluh kesah karena ia tidak dibayar sepantasnya oleh perusahaan media tempat ia bekerja. Kebetulan sang jurnalis baru menikah dan belum punya anak. Belum punya tanggungan biaya  besar. Dan, biaya hidup bisa diperoleh secara kolektif bersama suami.

Standar pantas menurut dia adalah biaya operasional peliputan setidaknya tak menggerus sampai lebih dari 50 persen gaji pokoknya. Asal tahu saja, gaji wartawan yang sudah bekerja 2-3 tahun saja masih setara dengan UMP. Kalau ia bekerja di Jakarta, ia terima sekitar Rp 4,8 juta per bulan.

Tidak ada biaya perjalanan dalam kota. Apa lagi luar kota. Uang makan harian pun tidak. Ini adalah dua komponen biaya yang harus ia keluarkan setiap bulan saat bekerja.

Jika akhir pekan harus bekerja, ia pun mengeluarkan kocek lagi. Beruntung jika tujuannya hanya satu lokasi liputan. Jika lebih, maka ia harus keluar lagi setidaknya biaya transportasi.

Maka memang kenyataan jika kadang hanya menyisakan Rp 500 ribu untuk ditabung saban bulan. Itu sudah bagus. Bahkan lebih sering biaya operasionalnya di ibukota lebih besar dari gajinya.

Perusahaan media sebetulnya menambah remunerasi. Bentuknya ongkos berita. Ongkos berita diberikan bukan ketika telah menyelesaikan tugas mendapatkan informasi dan menjadi sebuah produk berita.

Melainkan ketika produk beritanya dikonsumsi oleh audiens. Makin banyak yang menikmati, makin besar tambahan ongkos berita.

Skala nilainya terentang dari mulai Rp 50.000 hingga tak terhingga. Angka Rp 50.000 alias yang terendah itu diukur jika views atau impresi terhadap produk berita mencapai angka tertentu. Di bawah angka tersebut, ya zonk alias nol.

Seberapapun banyaknya wartawan membuat berita, tanpa capaian angka views minimal maka remunerasi berupa ongkos berita alias bonus itu hanya impian belaka.

Sehebat apapun upayanya menjadi wartawan dan menemukan fakta-fakta di lapangan, dan tidak diapresiasi (baca: dibaca) oleh viewers atau audiens, menjadi jurnalis adalah pekerjaan sia-sia belaka.

Performa jurnalis online kini dilihat dari performa produk karya jurnalistiknya. Tidak peduli bagaimana proses jurnalistik itu berlangsung. Bahkan juga tidak memperhitungkan lagi kualitas produk jurnalistiknya dikemas dengan sebagus apapun.

Sebab kenyataan di dunia maya, konten-konten receh yang bahkan dibuat atas upaya mengkopi (termasuk menggunakan materi postingan warga biasa) jauh lebih mudah memviral.

Sistem remunerasi seperti ini sebenarnya pernah terjadi pada era media cetak. Besarnya bonus tergantung dari seberapa besar tiras yang diraih. Tetapi media cetak memiliki pendapatan dari iklan. Sehingga ada dua komponen yang memberi kontribusi pada besaran bonus. Dan, biasanya berlaku sama kepada setiap orang. Atau paling tidak dihitung lagi kinerja atau effort dari masing-masing karyawan.

Skema pendapatan media digital amat berbeda dengan media cetak. Tidak ada lagi pendapatan dari tiras. Besarnya views tidak secara otomatis berbuah uang seperti pada tiras media cetak.

Views hanya meningkatkan performa media. Sementara pendapatan utamanya tetap dari iklan. Apakah ad sense, iklan native, iklan berbasis kerjasama aktivitas, dan sebagainya. Untuk sampai ke fase pendapatan dari iklan mesti melalui beberapa tahap menyesuaikan algoritma OTT (over the top).

Perusahaan media yang hanya mengandalkan sisi ini dapat dipastikan dalam situasi survival game. Ditambah lagi faktor biaya karyawan di media online adalah yang terbesar dari seluruh budget yang ada. Karena itu sistem remunerasi yang diberlakukan adalah gaji standar UMP plus bonus.

Dengan kondisi seperti ini perusahaan media online sangat mudah rapuh. Produk informasi yang dibuatnya juga cenderung receh. Karena para wartawannya yang harus selalu berjibaku mensiasati pendapatannya. Lalu memilih jalan pintas mereproduksi berita viral dari produk berita viral. Apapun temanya, sekalipun remeh.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun