Performa jurnalis online kini dilihat dari performa produk karya jurnalistiknya. Tidak peduli bagaimana proses jurnalistik itu berlangsung. Bahkan juga tidak memperhitungkan lagi kualitas produk jurnalistiknya dikemas dengan sebagus apapun.
Sebab kenyataan di dunia maya, konten-konten receh yang bahkan dibuat atas upaya mengkopi (termasuk menggunakan materi postingan warga biasa) jauh lebih mudah memviral.
Sistem remunerasi seperti ini sebenarnya pernah terjadi pada era media cetak. Besarnya bonus tergantung dari seberapa besar tiras yang diraih. Tetapi media cetak memiliki pendapatan dari iklan. Sehingga ada dua komponen yang memberi kontribusi pada besaran bonus. Dan, biasanya berlaku sama kepada setiap orang. Atau paling tidak dihitung lagi kinerja atau effort dari masing-masing karyawan.
Skema pendapatan media digital amat berbeda dengan media cetak. Tidak ada lagi pendapatan dari tiras. Besarnya views tidak secara otomatis berbuah uang seperti pada tiras media cetak.
Views hanya meningkatkan performa media. Sementara pendapatan utamanya tetap dari iklan. Apakah ad sense, iklan native, iklan berbasis kerjasama aktivitas, dan sebagainya. Untuk sampai ke fase pendapatan dari iklan mesti melalui beberapa tahap menyesuaikan algoritma OTT (over the top).
Perusahaan media yang hanya mengandalkan sisi ini dapat dipastikan dalam situasi survival game. Ditambah lagi faktor biaya karyawan di media online adalah yang terbesar dari seluruh budget yang ada. Karena itu sistem remunerasi yang diberlakukan adalah gaji standar UMP plus bonus.
Dengan kondisi seperti ini perusahaan media online sangat mudah rapuh. Produk informasi yang dibuatnya juga cenderung receh. Karena para wartawannya yang harus selalu berjibaku mensiasati pendapatannya. Lalu memilih jalan pintas mereproduksi berita viral dari produk berita viral. Apapun temanya, sekalipun remeh.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H