Seorang jurnalis online berkeluh kesah karena ia tidak dibayar sepantasnya oleh perusahaan media tempat ia bekerja. Kebetulan sang jurnalis baru menikah dan belum punya anak. Belum punya tanggungan biaya  besar. Dan, biaya hidup bisa diperoleh secara kolektif bersama suami.
Standar pantas menurut dia adalah biaya operasional peliputan setidaknya tak menggerus sampai lebih dari 50 persen gaji pokoknya. Asal tahu saja, gaji wartawan yang sudah bekerja 2-3 tahun saja masih setara dengan UMP. Kalau ia bekerja di Jakarta, ia terima sekitar Rp 4,8 juta per bulan.
Tidak ada biaya perjalanan dalam kota. Apa lagi luar kota. Uang makan harian pun tidak. Ini adalah dua komponen biaya yang harus ia keluarkan setiap bulan saat bekerja.
Jika akhir pekan harus bekerja, ia pun mengeluarkan kocek lagi. Beruntung jika tujuannya hanya satu lokasi liputan. Jika lebih, maka ia harus keluar lagi setidaknya biaya transportasi.
Maka memang kenyataan jika kadang hanya menyisakan Rp 500 ribu untuk ditabung saban bulan. Itu sudah bagus. Bahkan lebih sering biaya operasionalnya di ibukota lebih besar dari gajinya.
Perusahaan media sebetulnya menambah remunerasi. Bentuknya ongkos berita. Ongkos berita diberikan bukan ketika telah menyelesaikan tugas mendapatkan informasi dan menjadi sebuah produk berita.
Melainkan ketika produk beritanya dikonsumsi oleh audiens. Makin banyak yang menikmati, makin besar tambahan ongkos berita.
Skala nilainya terentang dari mulai Rp 50.000 hingga tak terhingga. Angka Rp 50.000 alias yang terendah itu diukur jika views atau impresi terhadap produk berita mencapai angka tertentu. Di bawah angka tersebut, ya zonk alias nol.
Seberapapun banyaknya wartawan membuat berita, tanpa capaian angka views minimal maka remunerasi berupa ongkos berita alias bonus itu hanya impian belaka.
Sehebat apapun upayanya menjadi wartawan dan menemukan fakta-fakta di lapangan, dan tidak diapresiasi (baca: dibaca) oleh viewers atau audiens, menjadi jurnalis adalah pekerjaan sia-sia belaka.