Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Balada Nasi Goreng Luwes

19 Februari 2024   14:58 Diperbarui: 19 Februari 2024   17:38 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasi Goreng Luwes. Begitu nama warung tenda yang mangkal di samping rumah makan pecel lele terkenal Pak Jo. Atau di seberang restoran kuliner Chinese Gao Shan Kitchen. Di Jalan Raya Serpong, kalau dari Tangerang sebelum bundaran Alam Sutera.

Pemiliknya Pak Aji. Orang Comal Pekalongan yang sudah puluhan tahun hijrah ke Tangerang Selatan.

Warung ini mewakili jutaan warung tenda yang tegak berdiri tak peduli dengan hiruk pikuk politik. Kendati berkali-kali dihantam oleh harga bahan pangan yang naik melulu (karena nyatanya tidak pernah turun, kecuali kembali ke harga normal).

Pak Aji mengeluh, tapi keluhannya selalu diiringi senyum. Seperti ketika beras mendadak susah didapat dan membikin harga melonjak tempo hari. Dan senyumnya seperti hendak mengalahkan duka hatinya sebagai rakyat kecil.

Hidupnya seakan seperti nama warungnya, "luwes". Alias fleksibel mengikuti apa yang terjadi hari ini. Tidak rakus, ambisius, dan menghalalkan segala cara.

Nasi Goreng Luwes tak ada di peta Google. Karena selain hanya buka sore sampai malam (kadang tembus nyaris subuh), juga Pak Aji mengaku gaptek. Segaptek-gapteknya Pak Aji kalau konsumennya senang biasanya mereka yang akan upload foto beserta titik koordinat peta. Tetapi tiada satu pun.

Padahal kalau bicara rasa boleh lah diberi bintang empat dari lima bintang. Bahkan jika ada adu chef niscaya Pak Aji mampu berkompetisi dengan chef-chef resto macam Din Tai Fung atau Imperial Kitchen.

Rasa boleh diadu. Kecuali harga dan penyajian. Harga sepiring nasi goreng biasa di Luwes dibanding Tai Fung bisa terpaut dua sampai tiga kali lebih murah.

Dok.Pribadi
Dok.Pribadi

Pak Aji tak pulang kampung sewaktu hari pencoblosan Pemilu, tengah Februari lalu. Tak juga menggunakan hak pilihnya alias golput.

Dengan tersenyum dia pun menyatakan, apa lah arti satu suara rakyat seperti dirinya. Jika ia sudah mengerti bahwa pemilu ini sudah ada pemenangnya jauh sebelum hari penghitungan dilakukan. Bahkan kabar kemenangan salah satu paslon itu memang sudah beredar di mana-mana. Dari mulut ke mulut. Mulai WA ke WA.

Kalau pun ia memilih sang pemenang sudah pasti suaranya sia-sia, lha wong sudah ada pemenang. Kalau pun ia memilih yang non pemenang, malah boleh jadi hampa karena dicurangi seperti yang terjadi pada inputan data Formulir C1 lewat aplikasi yang katanya canggih ber-AI.

Jadi kalau kembali ke kampung bagi Pak Aji cuma membuang ongkos belaka. Sayang terbuang hanya untuk pulang demi sesuatu yang baginya sudah tidak penting lagi. Lebih penting menghias kembali spanduk dan taplak meja warung tendanya biar tak lagi tampak murung dan lusuh.

Lagi pula kalau ia membuka warung pada hari pencoblosan, siapa tahu malah ketiban rezeki dari panitia pemilihan umum. Barangkali ketika mereka lelah dan lapar, lalu pesan nasi goreng atau mie goreng atau kwetiau bikinannya yang maknyus.

Ini lebih menguntungkan rakyat biasa yang kecipratan sedikit-sedikit rezeki dari ajang Pemilihan Umum. Ajang yang membutuhkan kehadiran tukang nasi goreng, tukang sablon, tukang tenda, dan tukang-tukang lainnya.

Pak Aji adalah tukang masak. Kalau melihat daftar menu yang ia tawarkan beragam sekali, lebih dari 20 menu. Menu-menu yang memenuhi kelengkapan karbohidart, protein, lemak dan standar gizi lainnya.

Andaikan suatu kali ia didaulat jadi koki program makan siang gratis pasti tak kerepotan. Toh, ia bisa kerjakan pada pagi sampai siang, kala Warung Nasi Goreng Luwes belum buka. Istilahnya side job.

Tapi entahlah bagaimana mekanismenya. Dan bagaimana orang-orang tukang masak seperti Pak Aji ini digaji. Pak Aji pun tak peduli. Ia memilih membesarkan sendiri brand Nasi Goreng Luwes seorganik-organiknya. Seorganik orang datang, pesan, makan dan kenyang di situ.

Seakan ia juga tidak mau mengakali harga seperti yang terjadi pada layanan pesan makan online yang kerap membengkakkan harga. 

Beruntung ia gaptek pula dengan aplikasi tersebut. Aplikasi yang memudahkan tetapi sekaligus juga membingungkan penjual plus pembeli.

Ia bahkan tidak terpikir mengurangi spesifikasi konten menu-menu makanan buatannya. Entah kualitas ataupun kuantitas bahan. Jurus yang kerap dilakukan industri makanan termasuk restoran demi cuan. Jadi niatnya memang jualan dengan benar dan jujur. Tak pernah sok-sokan gelar diskon promo tapi mendiskon pula dagingnya atau telurnya.

Pak Aji lebih mementingkan relasi kepada pembeli dan pelanggannya. Toh baginya saat semua yang datang dan membeli kenyang dan nyaman, itu berarti banyak hal ia lakukan. Panjang dijabarkan satu-persatu. Tetapi di dalam proses tersebut jelas lah ada relasi dengan Tuhannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun