Mohon tunggu...
andra nuryadi
andra nuryadi Mohon Tunggu... Konsultan - bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Creative Addiction; Media Practitioner; Journalist

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kampanye Playing Victim

29 November 2023   14:03 Diperbarui: 29 November 2023   14:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapan akan terjadinya adu gagasan, adu ide, seperti yang digemborkan Presiden Jokowi sepertinya jauh panggang dari api.  Politik gagasan itu hanya sekadar lips service belaka. Bukti sahihnya adalah pola dan gaya kampanye kosong tanpa pesan yang terus melanglang. Konten tanpa konteks.

Celakanya konten-konten itu berasal dari ketidakmampuan calon menelurkan sebuah wacana. Mereka tidak cukup kapabel menawarkan narasi tentang hal-hal baru dan segar ke depan publik.

Namun mereka malah memanfaatkan serangan berupa kritik dari pihak lain sebagai akibat kapabilitasnya yang tak terlihat menjadi produk narasi baru.

Apa itu? "Kami adalah korban dari gunjingan, hinaan, fitnahan dan serapah lainnya". Dengan kata lain, mereka yang tidak mampu melecutkan narasi cerdas dan ide bernas itu mengubah posisinya supaya mendapat empati.

Berbeda dengan orang-orang yang berwawasan visioner dan teguh menjaga misi. Mereka yang melantunkan kegerahan pada persoalan dan menawarkan gagasan. Mereka mencari simpati.

Sementara pencari empati adalah orang-orang yang bermain sebagai korban. Memanfaatkan tekanan dan mengubahkan menjadi konten. Konteksnya, ya playing victim.

Playing victim sama sekali tidak memanfaatkan alam pikirannya dan menggabungkannya dengan perasaannya. Mereka benar-benar cuma memainkan perasaan, baik perasaan dirinya sendiri dan mengais perasaan orang lain agar memberi atensi.

Kampanye playing victim memanfaatkan visual (sedih, senyum, dan segala sesuatu yang tampak mata). Komunikasi yang dibangun adalah bahasa korban bullying, mengalah, tidak apa diledek yang penting jangan bersedih.

Kampanye model begini cenderung defensif. Menerima lalu menggembalikannya dengan menyatakan bahwa seluruh gunjingan dari pihak lawan adalah omong kosong alias hoaks. Mereka tidak akan menyerang balik, karena tidak punya bahan seimbang untuk mengkounter dalam perspektif yang setara.

Dengan kata lain gagasan kompetitor yang memiliki potensi menyinggung dirinya akan dikembalikan dengan cara membiarkan menjadi angin lalu. Mereka enggan berkomentar, dan bahkan sama sekali tidak ingin beradu argumentasi.

Kampanye yang aktif di satu sisi dan pasif di sisi lain jelas bukan proses pemilu yang menggembirakan. Malah sebaliknya menyedihkan. Dan, keterlaluan sekali jika gembira itu dimaknai dengan hura-hura dalam wujudnya berjoged ria bersama-sama.

Dalam proses komunikasi cara-cara seperti ini boleh dan bisa. Wajar dan tidak salah. Tetapi sebenarnya Anda sedang berbicara dengan generasi kosong. Generasi kosong ini akan terus kosong dengan segala pertunjukan permainan permohonan empati dan rupa dansa tanpa makna.

Seorang yang merasa jadi korban akan terus menggulirkan gimmick kosong. Mereka tidak akan berani menyentuh hal-hal substansial dan esensial tentang perjalanan sebuah bangsa.

Kalau pun iya itu pun hanya di tataran permukaan. Programnya boleh jelas, gamblang dan nyata. Tetapi tidak muncul dari sebuah proses akademis, empiris, maupun kajian aspek lain (finansial, legal, dll) yang komprehensif. Dengan kata lain asal "njeplak", asal omong.

Pada proses berdemokrasi yang --katanya- semakin dewasa ini perjalanan pelaksanaan Pemilu 2024 tidak mempertontonkan kedewasaanya. Jika yang dimaksud "dewasa" itu adalah proses mengadu gagasan yang mesti diuji baik lewat perdebatan maupun opini publik, menjalankan setiap proses dengan jujur dan fair, tidak ada setitik lubang pun untuk intervensi dari penguasa.

Kecuali para pemainnya bersama punggawa tim suksesnya tak peduli dengan cara apa pun untuk bermain bola. Termasuk panitia dan wasit yang diam-diam ingin mengubah permainan.

Menyitir ucapan Kaesang Pangarep (yang entah paham atau tidak dengan ucapannya) tentang berpemilu dengan gembira, santai dan santuy. Bahwa kegembiraan terjadi karena gagasan-gagasannya menarik dan membuat riang ruang pikiran dan perasaan. Santai bukan karena mencueki kritik orang yang lalu dianggap hoaks. Tapi karena isi kepalanya moncer dan mampu melantunkan segala kecerdasannya dengan runut dan santai tak belepotan. Juga santuy tidak lalu nunduk-nunduk sampai kepala nyaris bertemu lutut kepada lawan atau tokoh. Tetapi santuy dengan segala ucapan dan tindakannya terutama kepada pemilik republik, yakni; Rakyat!

Sudah lah para kandidat dan pasukannya. Cerdaslah dan cerdaskan kami. Sebab kami bukan bocah-bocah kosong.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun