Dua kubu calon presiden dan wakil presiden, khususnya tim juru kampanye alias tim sukses saling buka suara, berdebat kuat, adu mulut berseteru seru.
Media sosial memanas, mengemas trending topic soal politik. Terus tiada henti, saling berganti. Segala bentuk konten dijadikan senjata paten. Niatnya bukan bikin pencerahan masyarakat yang kian terheran-heran. Melainkan jurus serang agar lawan tak bisa tenang. Dari seberang membalas garang, maka lalu membuka perang.
Hari-hari kampanye Pemilihan RI 1 dan RI 2 2019 tampaknya tak lagi dihias dengan adu gagasan. Sampai 13 April, boleh jadi Anda hanya melihat arena tanding mulut zonder membawa pesan. Bahkan bukan tidak mungkin jika lomba tawarkan ide itu berubah jadi lomba hujat-hujatan. Atau merupakan ajang tiupkan ketidaksukaan dan kebencian.
Jelas, konsep pemasaran konten (content marketing) dalam strategi politik cerdas dan santun tidak demikian adanya. Politik membutuhkan konten bagus untuk membangun citra, tetapi bukan pencitraan.
Citra dibangun untuk tujuan jangka panjang dan disiapkan dengan memikirkan segala aspek. Pencitraan dibikin untuk jangka pendek dan umumnya tidak direncanakan lewat pemikiran matang atau hanya sekadar memanfaatkan momentum sekejap.
Cara membangun citra paling sederhana adalah dengan melahirkan gagasan dan terobosan. Bukan lewat perang mulut dan debat tanpa juntrung. Gagasan-gagasan itu mustinya berisi kajian lengkap bersama solusi. Solusi yang bisa dieksekusi baik oleh pemerintahnya atau warganya.
Melahirkan gagasan tak bisa dilakukan dengan mengedepankan segala asumsi. Asumsi yang bertemu asumsi akan menimbulkan asumsi. Begitu seterusnya sampai kemudian solusi yang ditawarkan sesungguhnya tidak solutif.
Gagasan muncul karena melalui proses seperti melakukan riset, memanfaatkan data dan fakta, kemudian menjahitnya menjadi sebuah kajian komprehensif. Gagasan semakin cemerlang ketika disudahi dengan konklusi dan dipungkasi dengan solusi.
Hal-hal inilah yang ditunggu oleh rakyat yang kian cerdas di era milenial. Masyarakat haus akan rincian ide dan solusinya yang menggambarkan Indonesia lima atau 10 tahun ke depan. Â
Citra positif seorang pemimpin atau partainya adalah karena kecerdasannya (termasuk kecerdasan kolektif para pendukungnya) memandang dan mencari jalan keluar atas persoalan bangsanya. Mereka tidak gampang terjebak oleh serangan lawan yang murahan. Mereka kuat dan konsisten mempertahankan gagasan-gagasan barunya ke publik. Kendati pun gagasannya itu pun belum teruji, belum pula dimulai, belum juga dilakukan.
Gagasan yang memberikan gambaran jelas, menggunakan data valid, maupun rancangan lengkap berupa peta jalan maupun cara menempuhnya, justru dapat dijadikan sebagai konten untuk memasarkan diri sang calon. Ketika menimbulkan bantahan dan sanggahan dari lawan, maka justru pada saat itulah gagasan itu tengah diuji.