Mohon tunggu...
Andra Nuryadi
Andra Nuryadi Mohon Tunggu... -

CREATIVE ADDICTION

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Siti dari Jogja

24 November 2015   14:38 Diperbarui: 24 November 2015   16:01 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: entertainment.kompas.com"][/caption]Tahun 2003 industri perfilman nasional jelas tidak seperti sekarang. Dominasi film-film selera rendah yang diputar di bioskop-bioskop hampir bubar lebih kentara. Jarang kita sekali seminggu bisa menonton film karya sineas lokal seperti hari-hari ini. Menonton film Indonesia waktu itu, barangkali bagi sebagian besar kita hanyalah untuk melihat artis pemainnya. Cantik-cantik pula sexy. Mungkin memang cenderung “jual” bodi ketimbang eksplorasi kebisaan. Pendek kata industri film nasional lebih seperti ungkapan hidup tak hendak mati pun tak mau. Mati suri.

Efeknya tentulah kepada anak-anak mudah yang ingin menjalani hidupnya kelak di bidang perfilman. Mana mungkin mereka menyandarkan hidup jika potret ladang hidupnya suatu hari nanti seperti terceritakan tadi. Tak berkualitas, tak memberi inspirasi, mungkin juga gelap.

Kalau pun ada mahasiswa yang mengambil jurusan perfilman hidupnya hanya bisa mengandalkan sinetron yang kejar tayang atau dunia periklanan yang butuh pasokan video advertensi. Tetapi tidak bagi empat anak Yogya, masing-masing tiga pria dan satu perempuan. Seorang teman, Sony Adi menemukan mereka ketika berkeliling di kota keraton itu.

Sony Adi yang hidupnya penuh “petualangan” menjumpai mereka dan membawanya ke Jakarta. Bertemu saya. Mengenalkan empat anak mudah yang menyebut kelompoknya dengan nama Fourcolours. Saya menebak pasti nama itu tak jauh-jauh dari empat anak muda yang masing-masing punya “warna”. Ya sesederhana itu makna nama, bagi saya.

Mereka Ifa Isfansyah, Edi Cahyono, Rah Aji Surya dan si perempuan, Narina Saraswati. Edi pendiam. Narina suka senyam-senyum jarang terlontar kata. Ifa lumayan banyak omong. Aji seperti Ifa. Persuaan pertama berlangsung di kantin harian terbesar nasional. Sekadar minum dan makan kecil, sore hari.
Perjumpaan itu sifatnya hanya perkenalan. Sekaligus cerita-cerita tentang film pendek yang mereka bikin, judulnya Mayar dari Jogja. Saya lupa, tetapi kira-kira tentang seorang perempuan muda yang hidup di tengah kesusahan dan perjuangan hidup.

Apa istimewaanya film pendek buatan swadaya ini? Mungkin tidak ada.

Tetapi bagi saya, ini semacam obat yang sedikit mencerahkan tentang dasar-dasar sebuah film Indonesia. Digarap dengan modal pas-pasan dan keluar dari kocek sendiri. Jangan Anda tanyakan kualitas hasilnya. Saya menangkap ada geliat di dalam semangat anak-anak mahasiswa ini. Tetapi, apa yang bisa saya dan Sony lakukan saat itu?

Tidak ada, kecuali mendengar mereka berkisah. Menawarkan mereka ke produser film pasti langkah mustahil. Kendati jalan itu juga kami lakukan, tetapi seperti sampah yang akhirnya mendarat di lantai.

Tuntas itu, Sony menawarkan untuk membuat sedikit prosesi , sebab siapa tahu dari situ sejarah dimulai. Bikin buku! Buku tentang anak-anak mudah ini. Akses ke penerbit buku jauh lebih mudah daripada menawarkan ke perusahaan penerbit film. Kendati saya masih ragu, mana laku menjual buku dengan objek anak muda yang gandrung film, tetapi tidak terkenal, filmnya pun belum masuk bioskop nasional.

Untunglah penerbit buku tetap mau dengan catatan musti ada value lain yang ditawarkan. Value itu berupa sebuah VCD film Mayar dari Jogja. Nanti tinggal anak-anak Fourcolours yang menggandakan. Tugas saya dan Sony adalah menggali cerita anak-anak ini, tentang idealismenya, tentang mimpinya, soal sepak-terjang pembuatan film berbiaya murah dan kesulitan-kesulitannya. Lalu kami jalin supaya ada dramanya, ada emosinya.

Beberapa bulan kemudian terbitlah buku berjudul Mayar dari Jogja. Dicetak tak lebih dari 3.000 eksemplar. Lalu didistribusikan, lewat toko buku, juga dijajakan sendiri oleh anak-anak Fourcolours.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun