Mohon tunggu...
Andra Nuryadi
Andra Nuryadi Mohon Tunggu... -

CREATIVE ADDICTION

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Brau di Hatiku

13 Agustus 2015   14:07 Diperbarui: 13 Agustus 2015   14:07 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses pembuatan biogas dan pemanfaatan di dapur warga Brau, Batu.

 

Di saat kota Batu tengah berdetak kencang, memainkan irama industri pariwisata. Ketika turis lokal maupun manca menyemut di pusat-pusat wisata bertajuk theme park yang menjamur. Sewaktu itu pula miliaran rupiah mengalir deras, melimpahi wilayah kecil yang dulu hanya dikenal sebagai pemasok apel. Batu adalah sebuah potret perubahan drastis dan menemukan jalannya sebagai the heart of tourism Jawa Timur.
Setenar-tenarnya Batu sebagai ikon plesir, tetaplah menyisakan keterlantaran. Grafik kemajuan pesat itu meninggalkan sebuah dusun bernama Brau untuk ikut berpacu dengan laju perekonomian wilayah. Petani dan peternak yang masih bekerja secara tradisional, dengan foto kehidupan yang mengingatkan pada era 80-90an. Pendidikan anak-anak tertinggal. Tingkat ekonomi yang tidak tumbuh, perilaku sosial apa adanya. Hidup seperti tak bergerak naik. Melambat, bahkan mungkin terasa diam.
Brau berletak di desa Gunungsari, kecamatan Bumiaji. Kalau Anda gunakan kata kunci “Brau” di Google Maps, niscaya Anda akan dibawa ke Washington DC, Amerika. Sebab Google cuma tahu Brau, ya sebuah titik di ibukota negeri Paman Sam itu. Tambahkan “Batu”, pun belum merujuk ke titik sasaran yan kita maksud.
Artinya eksposur tentang wilayah ini sendiri seperti ditelan kepopuleran “induknya”, Batu, yang oleh Wikipedia disebut-sebut sebagai De Kleine Zwitserland alias Swiss kecil. Kontras, tertinggal, tak terberitakan.
Ada apa dengan Brau? Jauh kah dari downtown Batu?
Tidak..tidak jauh. Tak lebih dari lima kilometer dari Batu Flyer (Ini fasilitas di pusat kota yang mirip London Eye atau Singapore Flyer). Berkendara mobil juga tak sulit. Jika Anda amati Google Earth, ia berada di kaki gunung Arjuno. Kalau menggunakan mata angin, kira-kira sebelah timur laut Batu.
Alamnya adalah karunia. Makanya, tanaman kebun tumbuh subur. Rumput hidup bahkan menunggu untuk segera disikat oleh sapi-sapi perah yang lapar. Kendati tak hanya sapi, ada hewan ternak lain yang merasa nyaman hidup di udara tanpa polutan. Kurang apa coba? Idealnya warga dusun sudah maju, minimal setara dengan saudara yang tinggal di pusat kota atau wilayah padat wisata.
Tetapi memang belum terjamah benar. Jika pun sudah diobyekkan sebagai ecotourism belum pula seberkibar Jatim Park. Jusron Faizal, kawan saya, menuliskan begini, “Ada saatnya nanti, saya pengen ngajak teman-teman, sodara dan kenalan ke sebuah dusun di lembah paling ujung ketinggian diatas 1000 mdpl, yang dikepung bukit padas di wilayah pegunungan Banyak. Dan saya tawarkan mau menginap di rumah-rumah mereka yang sebagian besar adalah peternak sapi perah, setiap pagi minum susu sapi segar dan makan apa yang mereka makan setiap harinya. Berbincang santai di ruang tamu mereka yang sederhana tentang Kota dan Desa, tentang pekerjaan dan peluang-peluang, juga tentang teknologi internet yang tercanggih saat ini hingga pengolahan kotoran sapi.”

Saya tahu Anda akan terimajinasi oleh kenyamanan sebuah lingkungan yang adem, ayem, tenang, jauh dari keriuhan, apa lagi situasi yang serba sibuk. Kalau warga membolehkan menginap, artinya mereka sungguh sangat welcome. Juga bila mau berbincang maknanya para peternak itu guyub. Singkat kata, Brau –dalam imajinasi- adalah habitat idaman yang menyediakan segala hal. Kalau hidup Anda selama ini cuma melulu dijejali oleh suasana hectic tiada henti, begitu sampai Brau, taruhan pasti akan melunakkan otak dan melemaskan otot. Sebuah cara natural paling gampang menyeimbangkan hidup, antara bekerja dan relaks.

Jusron yang ditempa alam, mengemukakan gagasannya. Desa atau dusun seperti Brau musti hidup. Tetapi untuk hidup tidak perlu mengubah segalanya menjadi ekosistem baru. Biarkan alam yang bicara, kemudian manfaatkan segala kelimpahannya dengan kreativitas. Katanya, sungguh seru jika orang-orang kota bisa mencari dan mengumpulkan telur-telur bebek yang berserakan. Apa jadinya kalau para pria kota yang mengaku macho mengendarai motor butut yang penuh dengan muatan rumput gajah dan harus sampai kandang dalam tempo kilat. Cobalah menyebrang sungai dengan gedebok pisang. Juga tantangan menimba air sumur demi mengisi sepenuh mungkin kebutuhan WC umum yang dipakai orang sekampung.

Aksi-aksi di atas tentulah menguras lemak tubuh, melepas stress, tak merecoki alam, paling penting helpful kepada masyarakat native. Semua mungkin dan mudah digelar di Brau.
Bagi seorang relawan bernama Yuli Sugihartati, konteks Brau dengan potensi lain, juga melahirkan ide-ide segar. Ia datang dan melihat betapa sebenarnya siklus beternak sapi perah tidak berhenti sampai susu-susu diperah lalu dikirim ke pengepul. Yuli, begitu sapaan akrabnya, menerawang lebih jauh daur produksi dan reutilisasi binatang yang telah lama memberi kehidupan masyarakat Brau.

Ambilah contoh susu. Jika seluruhnya disetor, maka peternak-peternak itu hanya memperoleh income segitu sepanjang usia menjalani profesi ini. Bisa naik, bisa turun, tergantung dari volume susu. Tak ada bonus. Yuli lalu menyodorkan produksi dodol susu yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan rasa dan warna, lalu dijual sebagai by product. Entah gagasan apa lagi yang ada di benak perempuan satu ini. Pendeknya, peternak harus memperoleh pendapatan lain, jika tak ingin dikurung oleh rutinitas.
Sungguh pun tidak gampang membujuk demi menjalankan aksi diversifikasi. Maka pada saat itu, Yuli yang lama tinggal di Hong Kong harus menjadi manusia Brau, walaupun secara identitas KTP orang luar. Menanggalkan gaya hidup ala orang kota, membaur dengan aktivitas warga sampai sekecil-kecilnya (termasuk ikut pengajian), sembari mencari apa sesungguhnya harapan orang-orang pedusunan itu. Sampai suatu titik ketika melihat betapa warga butuh pasokan energi. Ongkos membeli energi (entah listrik atau bahan bakar) yang terus mendaki bisa berarti menggerogot keuangan keluarga. Sementara siapa peduli dengan mereka?
Pemerintah? Swasta? Hmm…. jauh panggang dari asap.

Siapa lagi kalau bukan sapi-sapi itu sendiri. Sapi-sapi itu mengeluarkan kotoran. Kotoran-kotoran itu berserakan, kadang menimbun.
Padahal, kotoran-kotoran itu lah yang akan mengurangi pengeluaran energi. Asalkan mau memberdayakan menjadi sumber energi baru yang kemudian diolah dalam sebuah perangkat biogas. Yuli tak sendiri. Lagi pula tugas untuk mencerahkan warga sudah menyita waktu yang demikian lama. Ada yayasan nirlaba yang mendukungnya.
Sekarang, masalahnya adalah membuat, menguji, dan menunjukkan manfaat bio gas itu sendiri. Kalau fase ini sukses, rasanya Yuli tak perlu repot lagi menugaskan mulutnya untuk berceloteh kesana- kemari soal me-reuse kotoran, menggunakan biogas, dan menghemat biaya membeli energi. Biarlah warga kemudian yang melihat dengan mata kepala sendiri.
“Biaya per biogas sebesar 10 juta rupiah,” kata Yuli. Tetapi sebuah biogas bisa di-share untuk tiga keluarga, atau tiga rumah.

Membebankan angka ini kepada masyarakat jelas pemikiran yang salah besar. Apalagi kelak yang membuat dan membangun adalah juga masyarakat setempat. Tidak mungkin mereka diperas tenaga dan biayanya. Ini sama saja cuma memberi solusi, tetapi tidak melakukan solusi itu sendiri. Mungkin tapi mustahil.
Caranya adalah mengajak siapapun, entah pribadi, kelompok atau perusahaan untuk andil. Dari kolega kuliahnya, terkumpul Rp 10 juta yang selekasnya dibelanjakan biogas. Donasi dari sebuah BUMN pengairan mengalir dan jadi lah biogas-biogas lain. Perlahan, satu-persatu, jadi dan jadi.
Demi transparansi, Yuli bahkan mencatat semua pengeluaran. Musti akuntabel. Kelak siapa pun yang berbaik hati bisa merasa sungguh beruntung ambil bagian dari proyek ini. Tetapi juga tidak mencari untung. Karena sepeser pun uang itu ada, warga Brau lah yang punya hak.

Sedikit keberhasilan ini seperti memanjangkan siklus daur kehidupan peternakan di Brau. Rerumputan dikonsumsi sapi, sapi memproduksi susu dan membuang kotoran, kotoran diputar jadi sumber biogas, biogas menghasilkan energi untuk bahan bakar rumah tangga (termasuk listrik) tanpa biaya variabel, limbah biogas jadi pupuk, pupuk diperlukan rerumputan itu untuk tumbuh sebagai varitas terbaik. Berputar, berdaur, tidak ada yang tidak terpakai.
Bahkan kata Widi Arsana, kerabat Yuli, masih ada lagi produk-produk sampingan yang bisa terjual dan menghasilkan uang. Uang yang diperoleh itu jadi pendapatan tambahan warga. Bonus lagi.

Saya sempat berpikir, bukan cuma Yuli dan Yayasan Bumi Lestari yang melakukan pemberdayaan biogas. Biogas bahkan telah di-monetize sebagai teknologi yang bisa dibeli, lengkap dengan operatornya. Hal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan komersial, khususnya di peternakan berskala besar.
Hanya alasan keengganan untuk menjadi pebisnis lah yang membuat gaya dan maksud yayasan ini berbeda 180 derajat. Kalau pun dana itu mengalir dari donatur maka sepenuhnya tiap kucuran itu manfaat untuk Brau. Yuli tidak mengadu nasib di situ. Ia hanya menyisihkan waktunya (walaupun nyaris sebagian besar) demi agar nasib orang –orang Brau yang berubah. Paling tidak jauh dari apa yang disebut warga dan dusun yang tertinggal.
Suatu kali, ia mengajak orang-orang kota untuk mengirimkan buku-buku tulis, kitab-kitab bacaan, mau usang atau baru, ke Brau. “Anak-anak kecil di sini haus bacaan,” ujarnya. Tanpa banyak birokrasi, tak lama jadilah sebuah perpustakaan yang menggenapi ruangan yang kerap dijadikan sebagai tempat belajar.
“Minggu depan, aku akan bikin hari makan bubur,” kata Yuli menginfokan suatu saat.
Bubur? Makan bareng? Orang-orang desa itu tak pernah makan bubur?
“Asal tahu ya, makan mie instan saja di sini sudah hal mewah,” sahutnya.

Gerakan-gerakan sederhana tapi membumi ini disambut dengan sumbangan-sumbangan dalam bentuk apa pun. Gotong royong, tanpa kehendak mengambil benefit apapun. Termasuk popularitas.
Sekarang, sudah delapan biogas terbangun dan terasakan manfaatnya. Masih kurang 13 biogas agar secara ekonomi lebih dapat dinikmati olah warga Brau, khususnya dari produk sampingan. Perjalanan masih panjang tampaknya. Masih perlu tangan-tangan yang rela memberi tanpa pamrih. Tetapi, kata Yuli, sudah ada paradigma baru ada di benak masyarakat yang tinggal di ketinggian 700 mdpl itu.
Apa?
Dunia dan kehidupan berternak itu indah dan luas. Di Brau, hatiku tertambat. (*)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun