Harapan meminang pinang sebatang, segala khayal jelma membayang, mengukuhkan yang tak terbilang, tiada peduli pada nyata yang kan datang.
Demi semu yang melenakan, tiada kuhirau rumpun bambu gemerisik daun kuabaikan. Liukan batang menyambut terpaan, tak sedikit jua indah dalam pandangan. Pergilah... menjauh tak sekalipun kubutuhkan.
Di sini simpul kutautkan, meski selaksa pantang datang penolakan. Tetap memuja sebatang keinginan, walau terbuang diri tercampakkan. Buruk ghibah tiada kisah kuratapkan.
Selamat jalan...
Selamat tinggal segala wejangan, nasihat handai taulan...
Pun jua buruk badan dalam pandangan Tuhan.
Tiada kunyana Tuhan semesta, kapal emas bahtera yang kukira kan bawa bahagia, hanyalah biduk sampan menghimpit raga. Tiris berlinang air mata, di tengah buncah amuk samudra. Tapi ego tetap saja membahana, memaksa hasrat berteguh pada cinta yang sama.
Tempaan waktu memahat diri, terang benderang busuknya jati. Habislah manis ditinggal pergi, jauh berlari dan tak mungkin kan kembali. Sepah menyesak yang tertinggal kini. Berbilang aib badan menghadap meski hanya sekadar menata hari.
Lamunan jadi teman sejati, beriring derai di sudut mata hati. Bayang rumpun bambu menari-nari, melambai indah menambah siksa luka diri. Kusut pikiran tak termakan kata bijak bestari.
Malu kembali ke pangkuan...
Haruskah kupilih menjauh dari kenyataan?
Bantu aku..., Tuhan.
Â
*
*
*
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI KOMPASIANA, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Terima kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H