Hilang malam berganti hari, berbilang purnama dan tahun menyisi... tak satu jua yang mampu memberi arti. Pada mata ini, pada telinga ini, mulut ini, penciuman ini. Tidak pula pada alam dan kehidupan ini. Ahh... butakah mata atau telinga sudah tuli?
Kemana mangadu?
Pada siapa harus dituju?
Menggantungkan harapan pada sisi-sisi hijau yang basah oleh embun dalam keheningan. Lelah kaki penat badan, dan semua percuma tiada berpadanan. Hijau hanya tinggal kenangan. Dan titian embun hanya khayalan... menjauh dari kenyataan. Tiada sebarang kicauan unggas kan didapatkan, untuk ketenangan... pelampias kekesalan. Tiada lagi dan tak akan. Semua sirna menyisakan carut marut menakutkan. Memekakkan telinga handai tolan. Tiada beradat tiada bersopan.
Seperti inikah keinginan...?
Kering kerontang yang dihadirkan?
Berharap ratap terjawab pada kebisuan--pada laut, karang buaian. Tapi ratap berubah teriakan, hilang raib hanya sanggup ditelan. Tak ada yang sudi sekadar mendengarkan. Keluh kesah badan. Kerisauan yang menggelayut manja dalam pikiran... yang bahkan menggerogoti angan. Tepian tak lagi pernah sama... terabaikan. Hanya timbunan busuk menampar penciuman. Merusak pecah indahnya penglihatan.
Kemana camar berlarian?
Di mana menghilang sampan-sampan nelayan?
Atau sekadar buih menemani kaki berkejaran...
---o0o---
PUISI INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI KOMPASIANA. COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN Â DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 09 Agustus 2017.
Sumber Ilustrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H