Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tak Habis Pikir...

5 Desember 2015   22:39 Diperbarui: 6 Desember 2015   06:55 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang dibela, belum tentu membela. Belum tentu benar adanya. Adab dunia, jauh melampaui aturan surga. Tak kenal siapa Anda, apa itu agama. Suka, lakukan saja. Persetan pada apa yang nanti ‘kan menimpa. Lantas untuk apa?

Mengapa menghabiskan ludah untuk bersabda? 

Yang dicaci, belum tentu membenci. Belum tentu pula ia tak suci, sebab iblis punya cara keji. Selalu menepati janji, pada Ilahi. Menggiring anak keturunan Adam ke liang tak berdasar tak berperi. Di mana nanti, kau akan menangis tiada henti. Dan semua menjadi tak berarti.

Mengapa menghamburkan energi diri pada hal tak pasti? 

Yang disanjung, belum tentu agung. Pernah lihat pelangi di ujung lembayung? Indah jika kau beruntung, tapi hanya terkutung, serbatanggung, janji keindahan yang menggantung. hanya sebentar dan lalu menghilang di balik gunung. Meninggalkan kau hanya untuk tercenung. Mematung. Bingung. Limbung...

Mengapa menyiksa otak kanan memeras imaji tak berpangkal tiada berujung? 

Yang dihujat, belum tentu bejat. Ini bukan lagi zaman pendekar silat. Apa tidak pernah mengerti dengan kata penat? Tidakkah banyak cerita dalam keyakinanmu yang membawa hikayat? Cerita bagaimana membawa baiknya sikap dan sifat?

Mengapa memaksa otak kiri merangkai keburukan di depan ulayat, masyarakat, rakyat? 

Tidak selamanya diam adalah emas. Tidak pula memilih untuk diam adalah emas. Sekali saja bisikkan dalam pikir yang bernas. Bagaimana nanti semua hujat dan cela yang keras, bertemu dengan anak keturunan sendiri yang diharap berkelas? Atau kata puji dan puja yang bablas, menjadikan keturunan orang-orang yang pemalas?

Tidakkah itu menyakitkan? 

Alam berkembang menjadi guru. Tidakkah bisa melihat itu?

Lihat mentari yang panas. Tengoklah samudera yang menggelora. Resapi semilir angin yang berhembus. Pandanglah hijaunya pepohonan yang meranai, lalu bentangan biru di cakrawala dengan sulaman awan. Hitam putih hingga abu-abu. Menyatu dalam satu pandang. Pada tanah yang berhias rumput bergelombang.

Tidakkah mereka sangat berbeda?

Lalu, mengapa mereka mampu menghadirkan keindahan?

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAHMENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 05 Desember 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun