Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Analogi 2; Warna

30 Agustus 2015   15:51 Diperbarui: 30 Agustus 2015   15:51 1795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang bocah perempuan bermain di tengah taman, di antara rimbunan tanaman bunga nan menawan. Bersenandung riang, menari melenggang, tiada terputus senyum mengembang. Aroma basah sebab hujan belum lama berlalu masih bisa ia rasakan, mencium kesegaran udara.

Sang ayah sibuk memetik kelopak bermekaran, satu per satu dipetik pilah dalam ikatan.

Tubuh si kecil rebah, mata bening memandang penuh kekaguman langit membiru. Bangkit lagi, menari lagi, bersenandung lagi. Sekuntum bunga merah muda tersemat di telinga.

Bibir mungil bertanya;

Ayah, bunga-bunga ini, kok wangi ya?

Bunga-bunga ini, kenapa begitu indah?

Sang ayah menghentikan kesibukkannya, melepas caping yang menaungi wajah, senyum mengembang memandang sang buah hati.

Bunga-bunga ini mewangi, sebab ianya ditanam di atas tanah yang subur. Bumi memberi mereka makanan yang sama. Juga, air yang sama.

Bunga-bunga ini indah, sebab ia tidak satu warna saja, Nak.

Kenapa begitu, Yah?

Gadis kecil bingung, datang mendekat ke pelukan sang ayah. Sang ayah menggendong gadis kecil, mengajaknya memandang hamparan bebungaan yang ada. Sesiur angin mengajak rumpun bunga meliuk gemulai, menari indah. Di ujung bukit, sedikit rona pelangi masih bisa mereka saksikan.

Kamu lihat pelangi itu, Nak? Merah, kuning, hijau, semua berpadu. Saling melengkapi satu sama lain. Menghadirkan warna lain di antaranya. Jingga, merah muda, ungu, hingga biru. Lebih hidup, lebih indah.

Kamu suka kan, melihat keindahan pelangi?

Gadis kecil mengangguk, memeluk manja sang ayah. Lantas turun, kembali menari bersama ayunan rumpun bebungaan. Merasakan kesejukan yang ada. Tak terusik.

Pria tua melanjutkan apa yang tertunda, sebab hari telah merangkak siang. Ia tak ingin sang pemilik kebun menunggu terlalu lama, pada hasil panen yang telah menanti.

 -o0o-

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 30 Agustus 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun