Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Anomali

22 Maret 2015   14:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14270106031224680124

Bibir mungil bertanya. Lugu tanpa dosa. Sebab gadis belum belia, hanya takjub pada yang ada.

Duduk manis di atas kursi bambu. Berteman pelita minyak tanah menerangi malam.

Ayah… apa itu adil?

Bagaimana rupa arif?

Seperti apa wujud makmur?

Bibir tua tersenyum. Membelai lembut hitam rambut terurai.

Nak… adil itu seperti sepasang sayap putih burung merpati. Tiada bercela kiri dan kanan. Seimbang jumlah setiap sisik bulu-bulu halus. Yang sanggup menopang tubuh. Tidak pincang saat berjalan. Tak akan menggelepar saatterbang.

Rupa arif sangatlah memesona. Ia umpama si merak jantan. Sayap hijau kebiruan mengimbangi terbang dalam keanggunan. Ekor indah dalam hitungan pasti. Tengah lebih panjang, kiri-kanan menutupi kekurangan. Dengan warna memukau. Corak indah dalam pandangan. Anggun dalam tindakan.

Makmur itu perpaduan keduanya, Nak.

Lengkap melengkapi. Isi mengisi. Tiada cela dalam setiap hal. Seperti burung-burung bernyanyi riang menyambut pagi. Atau ocehan kelelawar di rembang petang. Ayunan rumpun padi seirama belaian sang bayu. Gemericik halus pada riam air yang berkejaran.

Ketika tiada lagi kepala yang pusing. Bibir yang pecah kekeringan. Perut yang kempis menahan lapar, atau membengkak. Sakit. Saat tiada lagi caci-maki dan umpatan. Di kala semua sudah terpenuhi.

Itu semua… ketenangan yang hakiki. Mungkin.

Bibir mungil tersenyum penuh makna. Bersitan pandangan sejuta arti.

Berarti… kita juga memiliki itu semua ya, Ayah!

Kita punya merpati putih, merak jantan yang indah. Rumah kita di antara hamparan padi yang sebentar lagi menguning. Menunggu panen. Di belakang ada sungai yang airnya terus mengalir. Tapi… kita tidak memiliki perpaduan keduanya.

Kita… gak makmur. Kadang makan, kadang enggak. Gak tercukupi. Gak terpenuhi, Yah!

Gimana bisa tenang…?!

Nak…

Apakah engkau bahagia? Meski hanya tinggal di gubuk reot ini? Hanya berdua saja dengan Ayah? Kita makan umbi meski tinggal di tengah surga pangan, apakah kau bahagia, Nak?

Gadis kecil mengangguk. Tersenyum lagi. Berbinar lagi. Memeluk tubuh tua dengan segala kasih.

Berarti… bahagialah ketenangan yang hakiki. Yakan, Ayah?

Pria tua mengangguk dalam pelukan. Tak terasa, bulir berkilau menggenangi pandangan.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 22 Maret 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun