Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tetes

23 Maret 2015   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:12 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetes

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting

Airnya turun tidak terkira…

Hari ini hujan turun lagi. Tidak jua mereda sedari pagi. Lebat membasahi bumi. Mila, si gadis cilik hanya bisa duduk berlipat kaki, dagu bertopang memandang lebat hujan yang turun. Dua tangan menggenggam erat selimut tua, menghangatkan tubuh. Di atas balai-balai bambu yang mulai keropos.

Sesekali bibir mungil tersenyum senang, tingkah katak-katak kecil bermain hujan, mengundang liar imajinasi Mila. Lain waktu, Mila menggigil menahan dingin. Bayu berhembus perlahan. Seperti pasak-pasak tajam batangan es, menghujam tulang belulang.

Syuuuh…

Wuush…

Menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon rindang. Memaksa batang-batang pada rumpun padi menari riang.

Cobalah tengok… dahan dan ranting

Pohon dan kebun basah semua….

Senyum Mila semakin merekah. Ayah pulang berbasah-basah. Kuyup sekujur badan. Meski caping melekat di kepala.

Ayahku nampak gagah. Melangkah santai menorobos hujan. Pacul disandang, sabit dipegang. Membawa bungkusan. Apa ya, isinya?

“Mila!” Pria tua tersenyum menyapa. “Ambilkan Ayah handuk, Nak!”

Mila mengangguk. Berkelumun selimut gadis kecil memasuki gubuk. Datang lagi membawa handuk. Handuk yang awalnya putih kini berwarna coklat kekuningan.

“Ayah bawa apa?” Mila ingin tahu, siapa tahu ayah bawa makanan yang banyak. Dingin ini membuat Mila lapar. Hehehe…

“Tadi,” pria tua angkat plastik hitam besar. “Air sungainya meluap. Ayah lihat banyak ikan. Nih… dibersihin, ya!”

Mila mengangguk senang. Melepas selimut, bergegas menerima bungkusan.

Di dekat gentong besar ada tatakan kayu, juga pisau dan parang. Tangan-tangan mungil si gadis kecil lincah membersihkan ikan. Ada sepat, ada lele, ada gabus… hihihi, Mila bisa kenyang nih!

Tik tik tik bunyi hujan bagai bernyanyi

Saya dengarkan tidaklah jemu…

***

Rahmat Tirta tegak termangu. Dua tangan melipat ke dada, jari jemari sama meremas bahu. Menahan sedih pilu yang menggunung. Nanar menatap gundukan tanah yang masih basah. Air mata mengalir di balik kaca mata. Saru. Samar…

Pemuda dua puluh tahunan ini memutar tubuh. Melangkah meninggalkan kuburan memerah dalam kesendirian. Sunyi…

Nak… maafkan Ibu! Selama ini… Ibu menyembunyikan hal besar darimu, Nak.

Kamu… kamu punya adik, Nak. Punya adik. Dari rahim Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang selama ini menitipkanmu pada Nenek.

Ibu… Ibu sudah membohongimu, Nak. Membohongimu!

Tirta kembali mengusap kedua mata. Jalanan ini terasa lengang. “Kenapa kau menyiksa diri, Bu?” Ratap Tirta dalam tangis tak bersuara. Tirta menyadari, almarhum ayah tiri juga sangat baik. “Tapi kenapa, Bu? Kenapa?!”

***

Tik tik tik bunyi hujan bagai bernyanyi

Saya dengarkan tidaklah jemu

Mila menari riang. Kaki telanjang menapaki jalan kecil berlumpur. Udara dingin tidak masalah. Mila tetap ayunkan langkah, lenggang centil mengajak alam. Titik-titik air berkilauan di tepi dedaunan. Kupu-kupu kuning terbang bergerombol.

“Hei, apa yang kalian cari?”

Mila menari kembangkan tangan. Hirup kesegaran udara pedesaan. Langit sudah terlihat. Ahh… begitu indah. Cerah. Gadis kecil tak henti bersenandung. Menari lagi, bernyanyi lagi. Dalam dekapan pucuk-pucuk muda daun singkong. Buat lalapan malam nanti. Hihihi… Mila kekenyangan nih nanti. Ada ikan, juga daun singkong.

Petik lagi petik lagi. Daun singkong kupetik lagi. Singkong liar siapa yang punya?

Mila memandang sekeliling. Sepi. Mengangkat kedua bahu. Gak ada yang punya! Hihihi… petik lagi daun singkong kupetik. Eeh…!? Mila menengadah, menatap tinggi langit di atas. Senyum manis terukir indah. Hihihi… singkong liar Gusti Allah yang punya. Mila petik lagi petik lagi.

Kebun dan jalan… semua sunyi

Tidak seorang berani lalu

Tik tik tik… hujan turun dalam selokan…

“Eeh! Siapa itu?”

Mila berhenti menari, berhenti bersenandung. Sebuah mobil mewah meluncur pelan mendekatinya. Menerobos jalanan berlumpur. Bukan aspal.

Mobil berhenti. Tirta keluar dari dalam mobil. Menghampiri Mila si gadis kecil yang bengong. Ndak pernah ada mobil bagus ke sini. Siapa ya?

“Adik,” panggil Tirta setengah membungkuk, tersenyum menatap Mila. “Maaf, Kakak mau nanya, boleh?!”

Ooh… orang nyasar! Hihihi. Mila mengangguk, mendekap pucuk-pucuk singkong dengan kedua tangan.

“Ngg, adik tahu gak, rumahnya Pak Irul?” Tirta membelai lembut rambut Mila yang sedikit basah.

“Pak Irul?!” Bibir mungil itu miring menggemaskan. Sepasang alis berkerut ke bawah.

“Iya!” Tirta tersenyum lagi menanggapi tingkah gadis kecil itu. “Ngg, dia punya anak perempuan. Namanya… Mila!”

Eeh… “Ngg, saya Mila, Kak! Ayah saya namanya Irul.” Meski bingung Mila menjawab dengan sopan.

Tirta terbelalak. Tubuh meremang dalam senang tak terucap. Tidak peduli tanah becek mengotori sepatu dan celana mahalnya. Tidak peduli pada tubuh gadis kecil yang lembab dan kotor juga. Pemuda ini langsung memeluk Mila dalam dekapan. Berlutut.

“Mila!” Gemetar bibir berucap, di sela haru menguasai diri. “Sayang, ini Kak Tirta.” Tirta mendekap pipi Mila dengan kedua tangan. “Kakak kamu, Sayang! Mila adiknya Kakak.”

Mila bingung. Tidak mengerti. Hanya berdiri terpaku meski Tirta memeluknya penuh kasih, dalam ratap haru yang terlihat jelas. Sesegukkan mengguncang badan.

“Enngg… Ka—kak, jelek deh! Nangis kek gitu!” Mila si gadis kecil manyun. Bibir monyong memancing senyum.

Tirta tak kuasa untuk tidak tertawa. Hadirkan suara mendengus kencang, menahan tawa dan haru sekaligus dalam diri.

“Di--mana Ayah, Sayang?! Rumah?” Tirta melepas kaca mata, mengusap mata yang basah, dan mengenakan lagi kaca mata itu.

“Itu…” Mila menunjuk ke sisi kiri. Di sana, di tengah hamparan padi yang mulai menguning. Sebuah gubuk bambu.

“Ayoo, Mila!” Ajak Tirta.

Tirta menggandeng tangan Mila. Melangkah menuju gubuk bambu. Bentangan sawah sejauh mata memandang. Basah berkilau butir-butir air. Kicau burung-burung menyambut cerahnya langit. Nyanyian katak riuh-rendah dalam kubangan. Deru riam aliran air, mengalun indah menemani langkah. Unggas-unggas air berenang riang, mandi-mandi basahi bulu. Kejar, selam, menangkap ikan.

Tik tik tik hujan turun dalam selokan

Tempatnya itik berenang-renang…

Bersenda gurau, menyelam-nyelam

Karena hujan berenang-renang…

***

Pria tua terpaku hening. Meski bibir bergetar, tak sebarang kata mampu terucap. Hanya lelehan bening di kedua sudut mata saja yang mampu menjelaskan. Pria tua… berduka. Sakit mengetahui Ibu Mila telah tiada. Meski… bekas istri. Namun cinta di hati, tak pernah dimungkiri. Tak pernah terganti. Tiada sekali jua ia khianati.

Yang mampu dilakukan, memeluk Mila dalam dekapan. Perlahan isak tangis penuhi ruangan.

“Mila bingung kenapa Ayah juga menangis?” Tangisan sang ayah memancing bulir-bulir suci untuk tumpah. Mengguncang tubuh gadis kecil. “Kakak itu juga!”

Tirta sungguh tak kuasa. Menahan keharuan ini? Menahan gelora indah dalam kesedihan ini? Sungguh tak bisa.

Tirta bersimpuh di lantai gubuk. Biarlah berkotor-kotor dengan tanah, asalkan pelukan ini nyata adanya.

***

“Mila udah siap, Sayang?” Tirta tersenyum memandang sang adik. Berdiri di samping pintu mobil yang terbuka.

Mila masih asyik memandang hamparan padi. Dua tangan sama mengembang. Gaun kesukaannya menyelimuti badan. Mila menengadah. Hamparan langit sore begitu bermakna. Indah tak terlukiskan. Tuhan… terima kasih. Udah memberi Mila seorang Kakak. Makaaasih ya, Tuhan. Mila tersenyum menunduk. Menatap alam yang selama ini akrab mengajaknya berdendang.

“Nanti kita berjumpa lagi…!” Suara lengking lantang bergema. Sesiur angin menjawab ucapan. Lambaian rumpun padi seakan ikut melepas kepergian. Burung-burung pipit serentak terbang mengangkasa. Menyibak ke sana, ke mari.

Tirta semakin terpesona. Mila begitu mencintai alamnya. Mila datang menghampiri. Memeluk Tirta dengan segala kasih. Mila punya Kakak. Mila gak sendiri lagi.

Pria tua datang menghampiri. Bersalin pakaian lebih rapi. Satu tas ia pikul. Tidak terlalu besar. Tirta menyongsong. Membawakan tas tersebut, menaruhnya ke dalam mobil.

“Mila, Sayang. Masuk, gih!” Senyum Tirta.

“Mila duduk di depan ya, Kak!” Pinta gadis kecil bermanja. Tirta mengangguk mengabulkan.

“Ayo, Yah…” ujar Tirta pada sang ayah kandung. “Hujan udah mulai turun, nih.”

Pria tua mengangguk, cepat masuk ke dalam mobil di bangku belakang.

Curah hujan semakin lebat, rona langit yang tadi cerah begitu cepat mengelam. Seiring laju mobil meninggalkan hamparan sawah di belakang. Seolah sedih ditinggal Mila pergi ke kota.

Tik tik tik hujan turun bagai bernyanyi

Saya dengarkan tidaklah jemu

Kebun dan jalan, semua sunyi

Tidak seorang berani lalu

Tik tik tik… bunyi hujan…

*

Sumber syair; Tik tik tik Bunyi Hujan, karya; Ibu Sud.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 23 Maret 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun