Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FKK] Kau Tak Lagi Indah

13 Juni 2014   23:23 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:51 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_342421" align="aligncenter" width="641" caption="www.riaudailyphoto.com"][/caption]

Kau Yang Tak Lagi Indah

Apa yang bisa kuceritakan tentangmu?

Keadaan tubuhmu yang sekarang, kah?

Kau tak lagi indah seperti dulu. Dulu, di kala kecilku bermain. Bercanda gurau bersama teman, berkawan kesegaran alammu. Berlarian, masuk hutan keluar hutan. Mengumpulkan ranting, kayu bakar. Mengutip buah ranum di lantai tanah suburmu. Mengejar satwa liar di atas pohon.

Menceburkan diri di sejuknya aliran mengalir. Bergelantungan di akar beringin menjulur. Berayun kuat, terhempas di segarnya aliran sungaimu, terkadang saling bertubrukan dengan teman. Tidak mengapa, kami berkawan kegembiraan. Walau kami tahu, begitu pulang di kala sore, Ayah-Ibu mengomeli. Basahnya pakaian, kotornya badan.

Tidak… Itu bukan tubuhmu yang sekarang. Itu kenangan yang selalu melintas dalam tempurung kepalaku. Menggawangi malamku kala kerinduan menghempasku.

Duri, kau tak lagi runcing. Patah diinjak-injak kesombongan. Tak sanggup tumbuh diracuni keinginan.

Kau juga Mandau… Tajam-mu hilang entah ke mana. Tumpul berkarat, digenangi dosa keserakahan. Gompal di sana-sini, setiap sisi bilahmu. Gagangmu lapuk dimakan rayap rakus.

Apa yang bisa kuceritakan tentangmu, Duri?

Haruskah aku banggakan asapmu? Asap yang mungkin saja membunuh badut-badut congkak itu? Tidak! Aku akan dengan senang hati tertawa lantang bila hanya mereka saja yang kau racuni. Tapi kau tidak, asapmu tak pandang bulu.

Apa yang bisa kuceritakan tentangmu selain kenangan ini?

Kala senja menjelang, jutaan keluang berterbangan di angkasa. Memenuhi lazuardi merah tembaga. Hingga bibir indah dari Ibuku, makhluk paling cantik bersyair;

Keluang ombak-ombak

Beruntun tali-tali

Lah pulang Abak awak

Membawa daging sapi

Kau masih ingat syair itu Duri-ku? Syair di kala senja kami menunggu kepulangan Ayah? Tidak, kau sudah lupa.

Lalu, bagaimana dengan keasyikan kami berburu di tubuh molekmu?

Melangkah riang di antara semak ilalang. Bersenda gurau di antara rindang daun berdesau. Memikul joran-joran bertali pancing. Satu-persatu ditaut hening. Berenang ria menunggu umpan disambar. Sepat, puyu, rutiang, toman pun jadi. Asalkan bisa kami bakar nanti di kala pulang ke rumah.

Terkadang kau mendatangkan belibis. Kami berenang, menyelam, menarik belibis ke dalam air. Begitulah kami menangkap itik liar itu. Berburu punai hijau meranai. Saling berlomba memanjat pohon, terkadang hampa. Punai terbang jauh. Atau mengejar puyuh, mencari-cari dalam kelebatan belukar.

Meski lebih sering pulang dengan tangan hampa, itu tidak mengapa. Sebab kami mencintaimu, kami senang bermain riang ditubuhmu.

Kau masih ingat itu?

Apa yang bisa kuceritakan tentangmu?

Kini kau sekarat. Tubuh indahmu tak lagi memesona pandangan. Alih-alih keinginan bermain riang seperti dulu lagi.

Aku menangisi-mu Duri, kau tahu itu? Menangisi orang-orangmu yang menurut saja apa titah penguasa. Seperti kerbau dicocok hidung. Alammu sangat kaya, bawah minyak di atas juga minyak. Kami tidak pernah protes meski sejauh aku mengingat harga minyakmu selangit tembus. Tidak seperti orang-orang di Jakarta sini, naik lima perak saja sudah seperti orang kebakaran jenggot. Tidak, kami tidak begitu. Kau pasti tahu itu.

Aku… menangisi-mu Duri.

Sebab aku pernah sempat dibanggakan akan hadirmu, oleh orang-orang asing itu. Kala tiba waktu giliranku melaksanakan Pendidikan Sistem Ganda, yang sekarang aku ketahui berubah nama menjadi Praktek Kerja Lapangan. Yaa… petinggi perusahaan asing itu bilang; jika bapak-bapak pergi ke negara asal perusahaan ini, di America sana… dan seorang dari kami bertanya; where do you come from? Dan bapak-bapak jawab; I’m from Jakarta… mungkin orang-orang itu tidak paham, sebab Jakarta tidak begitu terkenal. Tapi, bila bapak-bapak jawab; I’m come from Duri… saya bisa pastikan orang-orang kami di sana akan angkat jempol buat bapak-bapak.

Benar, pihak asing itu membuat kami bangga. Duri tercinta lebih terkenal ketimbang ibu-kota negara. Tapi, aku menangisimu kemudian. Aku sadar, pujian itu, rayuan itu hanya satu dari sekian ribu cara mereka ‘memperkosa’-mu. Begitu mudahnya termakan pujian, begitu mudahnya terlena rayuan, hingga kami tak menyadari tangan-tangan mereka menggerayangimu, Duri.

Kami mengangis, mereka terbahak-bahak.

Hutan belantaramu sudah tidak ada lagi. Berganti besi-besi hitam yang terus-menerus bergerak. Memompa minyak dalam perutmu. Memaksamu memuntahkan isi kandunganmu. Seperti mainan jungkit-jungkit taman kanak-kanak.

Rindangnya semakmu, lebatnya rerumputanmu, sombongnya ilalangmu, sudah tiada lagi. Sejauh mata memandang hanya kuning menghampar. Kemana hijau asriku yang dulu pergi? Kenapa menghadirkan kuning merekah ini? Kuning tanah liat yang becek dan susah kami lalui bila hujan merajam. Yang kering kerontang bila panas merajang. Berdiri sebentar saja mataku memerah. Memerah perih oleh debu-debu kabut beterbangan.

Ke mana aku harus memancing? Sungai-sungaimu berganti kanal-kanal keruh. Lebih banyak bayangan minyak menggenang, tercemar. Beralih fungsi menjadi tempat pemandian umum. Bukan untuk kami, tapi hewan ternak peliharaan. Kerbau, sapi, babi, anjing. Airmu kotor berbau busuk.

Apa yang bisa kuceritakan tentangmu?

Legendamu telah memudar jua. Gajah Sakti-mu telah pergi, entah ke mana? Mungkin juga telah mati. Begitu juga dengan si Gajah Buntung bergading satu, bahkan pihak asing itu menganggapmu The Last Mammoth saking tingginya tubuhmu. Namun si Buntung juga tak lagi terdengar kabar. Hanya Kerbau Gila saja yang masih setia menampakkan diri, mengganggu para pekerja asing itu. Seolah berkata, pergi kalian dari tanah leluhurku! Meski usaha melenyapkan si Gila terus saja dilakukan. Menjeratnya, menembaknya, namun si Gila tetap hidup, tiada merasa kelelahan membela tanah leluhurnya. Mungkin hingga ia menghilang jua.

Apa yang bisa kubanggakan darimu, Duri? Apa yang bisa kuceritakan pada mereka? Selain kenangan indah tentangmu masa dahulu? Tiada yang tersisa darimu, hanya tubuh kering kerontang menunggu ajal mendatang.

Kini, hanya ada tiga hal saja yang bisa kurindukan padamu, Duri. Namun itu sudah lebih dari cukup buatku mengingat kenangan lama tentangmu. Setiap kali ketiga hal itu terlintas dalam benakku, setiap kali itu juga tubuh molekmu membayang dalam kepala, tubuh molek yang dulu saat perawanmu.

Pusara Ayahandaku, pria tampan nan gagah keturunan Ayahanda Adam itu berkubur di badanmu. Pada Ibundaku, purwarupa cantik Bunda Hawa yang dulu setia mendendangkan syair tentangmu. Dan… pada salai silais yang selalu menggugah seleraku, tapi ini mungkin akan sulit.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentangmu, Duri. Tidak jua kebanggaan. Biarlah tubuh molek perawanmu tetap kukenang. Menjadi mimpi nyata dalam tidur malamku, dan membuyar kala fajar menyingsing.

Maafkan kami…

Kau… tak lagi indah.

***

Teruntuk tanah kelahiranku, Duri kel. Gajah Sakti, kec. Mandau, kab. Bengkalis, Riau-Indonesia. Yang telah sangat jauh berubah wajah.

Jakarta, 13 Juni 2014

Ando Ajo

--------------------------------------

Catatan:

Mandau: Sejenis parang/golok, Senjata khas suku Melayu juga Kalimantan.

Lazuardi: Langit, Angkasa.

Keluang: Kalong, Kelelawar besar. Pterocarpus edulis.

Abak awak: Ayah kita.

Sepat: Jenis ikan air tawar. Trichogaster pectoralis.

Puyu: Jenis ikan air tawar. Ikan betok. Anabas testudineus.

Rutiang: Jenis ikan air tawar. Aruan/Kiuang/Gabus/Snakehead. Channa striata.

Toman: Jenis ikan Gabus, lebih besar dan buas. Channa micropeltes.

Punai: Salah satu jenis burung merpati berwarna hijau. Green Pigeon. Biasa ditangkap untuk dikosumsi. Treron griseicauda.

Hijau meranai: Hijau seluruh tubuh. Perihal hijau memesona.

Mammoth: atau Mamut: Jenis satwa yang telah punah dari genus gajah purba. Panjang tubuh mencapai lima meter, dan berat mencapai dua belas ton.

Salai: atau Sale: Jenis bahan makanan dari ikan yang dikeringkan di atas api, atau melalui pengasapan.

Silais: atau Selais atau lais: Jenis ikan air tawar, bertubuh ramping memanjang kepala kecil berpatil. Ikan endemik Riau. Ompok hipophthalmus.

Salai silais: Selais asap, komoditi kebanggaan masyarakat Riau.

Lain-lain: Kenyataanya, di awal tahun 2000-an di daerah Riau yang notabenenya penghasil minyak (atas dan bawah tanah) harga bensin saja perliternya mencapai Rp. 20.000,-


Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Kota Kelahiran. Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun