Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kek

17 Agustus 2014   10:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:20 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEK

“Kek, beberapa jam lagi sangsaka akan dikibarkan!” seru Alif bersemangat, menunjuk ke arah lapangan terbuka.

“Iya, Nak…” kakek Adam tersenyum, mengenang. “Bahkan gaungnya saja sudah terdengar, Nak!” mengelus kepala cucu sepuluh tahunnya itu.

“Kita ikut kan, Kek?” ahh… mata bening itu bersungguh-sungguh. Lagi-lagi kakek tersenyum senang, meski tiada lagi baris rapi gigi putih. “Ayoo Kek, nanti kita terlambat!”Alif menarik-narik tangan kakek Adam.

“Sabar, Nak! Sabar!” lagi kakek mengelus kepala Alif. “Perjuangan butuh kesabaran. Jangan tergesa-gesa, Nak! Itu tidak baik!”

“Perjuangan, Kek?! Eeh…” Alif bingung, “Ta-pi… kitakan gak lagi berjuang, Kek!”

“Nak!” kakek Adam menatap dalam mata yang bening itu. “Kakek sudah renta, lapangan itu cukup jauh, kita tidak memiliki kendaraan, satu-satunya yang kita miliki cuma sepeda kumbang karatan di belakang… bagi Kakek, kini berjalan ke lapangan itu adalah perjuangan, Nak!” kakek kembali tersenyum, “Bagimu, menemani Kakek, menuntun Kakek ke sana juga perjuangan!” Alif tertawa senang, karena tahu ia juga berjuang.

*

“Kek, apa Kakek haus?” matahari cukup bersinar terik, seolah membara menyambut peringatan Hari Kemerdekaan.

Kakek menggeleng, tersenyum. Kembali mereka meneruskan perjalanan. Alif sangat bersemangat menuntun kakek Adam.

“Kek, Ayah bilang… Kakek adalah pejuang!” ujar Alif, wajah itu merah berbangga.

“Iya, Nak! Bersama Nenekmu!” senyum kakek Adam dalam langkah yang perlahan. Kaki tuanya tak sekuat dulu lagi.

“Berarti… Kakek Pahlawan doong, Kek?!” tanya Alif, melompat senang.

“Ha-ha… kamu itu!” kakek Adam geleng-gelengkan kepala, “Pahlawan atau pun pejuang, hanyalah sebutan… gelar yang mereka sematkan di dada para pendahulu, Nak! Kamu tahu? Hmm… seperti pemain bulu tangkis, atau sepak bola, yaa… yang kamu sukai!”

“Tapi…” Alif berhenti, tertunduk sedih. “Kenapa… Kakek gak dapat bunga?” Alif menatap lesu wajah kakek Adam. “Gak dapat piala kek pemain bola itu, Kek?!” kakek tersenyum menghela napas panjang. “Rumah aja da-dari anyaman bambu, Kek! Lantainya cuman tanah. Atap jalinan ilalang, listrik juga gak masuk! Alif gak bisa nonton tipi, Kek! Kakek juga!” Alif berjongkok sedih.

“Nak!” kakek Adam coba untuk berjongkok, dihadapan Alif. “Perjuangan itu bentuk lain dari keikhlasan!” kakek tersenyum, membelai lembut kepala sang cucu. “Terlalu banyak kesedihan kami yang tersisih Nak, bila harus diungkapkan!” kembali kakek Adam mengajak Alif berdiri, dan melangkah menuju lapangan di ujung sana.

“Tapi-tapi… kenapa Kakek gak mintak aja ma Pak Presiden, Kek?!” Alif masih tidak terima bila sang kakek seolah diabaikan. “Kata temen Alif, Presiden itu kaya… banyak duit!”

Kakek Adam tertawa halus mendengar penuturan cucunya itu.

“Tidak apa-apa, Nak! Begini saja sudah bagus, kok” kakek Adam tersenyum dalam aura keikhlasan.

“Padahal Kakek pejuang!” Alif masih saja bersedih.

“Nak! Kakek bukan lagi pejuang, itu dulu! Semua sudah usai, kan kita sudah merdeka. Makanya kita mau ikut upacara, kan?!” kakek Adam tersenyum lagi, namun Alif berdiam diri saja, cemberut.

“Mereka jahat sama Kakek!” ujar Alif setengah tak terdengar. “Duitnya banyak! Rumah tinggi-tinggi ada kolam berenang! Mobilnya bagus-bagus! Makannya pake daging, pake ayam terus! Kakek cuman makan nasi lembek, kangkung terus… urap terus! Katanya Kakek Pahlawan, katanya kita udah merdeka…”

Kembali kakek Adam tertawa halus, berhenti sejenak, jongkok lagi di hadapan Alif.

“Nak!” mata teduh kakek Adam mampu menghentikan laju kehangatan di mata bening Alif. “Tak ada alif yang tak bengkok!”

Alif bingung dengan ucapan kakek Adam. Sepasang alisnya terangkat tinggi. Kakek Adam terkekeh melihat ekspresi Alif.

“Manusia tiada yang sempurna, Nak!” kakek Adam memegang kedua bahu Alif. “Benar! Kita sudah merdeka. Kalau tidak, gak mungkin kita bisa berjalan santai begini! Berhentilah mengutuk keadaan!” kakek Adam tersenyum. “Jika kamu besar nanti… buatlah perubahan!” Alif mengangguk seolah berjanji.

Kembali keduanya melangkah menyusuri jalanan di pagi hari ini.

“Pahlawan atau tidak, cukup kamu saja yang tau!” kakek kedipkan sebelah matanya. Alif tersenyum. “Atau… kamu gak bangga ya, sama Kakek?!” ujar kakek Adam menggoda cucunya.

“Bangga kok, Kek!” Alif memeluk kakeknya. “Sangat bangga!” kakek Adam tersenyum balas memeluk sang cucu.

“Kemerdekaan yang sejati itu…” kakek menatap dalam pada Alif. “Ada di sini!” kakek menunjuk dadanya, “Juga di sini!” menunjuk kepalanya sendiri.

“Maksud Kakek?” tanya Alif, “Alif bingung, Kek!” kakek Adam terkekeh lagi.

*

“…Hiduplah tanahku! Hiduplah negeriku! Bangsaku, rakyatku, semuanya…”

“Bangunlah jiwanya! bangunlah badannya! Untuk INDONESIA RAYA…”

“INDONESIA RAYA MERDEKA-MERDEKA, tanahku, negeriku yang kucinta…”

“Kek, sangsaka udah hampir sampai di ujung tiang, Kek!” Alif begitu bersemangat, lima jari tangan kanan tersusun rapat di samping pelipis kanan, dan siku tangan membentuk sudut empat puluh lima derajat.

“Ssstt...” sela kakek Adam, “Jangan bicara! Dengarkan lagu itu sampai habis! Tegakkan badanmu, pentangkan tatapanmu, busungkan dadamu!” mata tuanya berkaca-kaca.

*

“Kek, tadi rame banget ya!” langkah riang Alif menemani kakek Adam melangkah pulang, sehabis upacara bendera.

“Kamu senang, Nak?!” kakek Adam berusaha mengikuti laju langkah sang cucu.

“Iya, Kek!” Aif tersenyum, “Besok-besok, Alif ikut lagi ya, Kek! Boleh kan?”

Kakek Adam tertawa lepas. “Tentu saja, Nak!” mengelus lagi kepala Alif. “Selagi darahmu masih merah! Selagi garuda di dadamu! Selagi merah-putih di pikiranmu! Tentu saja, Nak! Tentu saja!” Alif melompat-lompat kegirangan. Memainkan bendera kecil segitiga merah-putih di tangan kanan.

“Kek, Alif boleh ikut berjuang?!” tanya Alif, tatapannya liar berapi-api.

“Tentu saja, Nak!” kakek tertawa halus. “Perjuangan Kakek… mungkin sudah usai. Tapi, perjuangan yang sesungguhnya telah Kakek wariskan di pundakmu, Nak!”

“Haa…” lagi, Alif melonjak kegirangan. “Alif tau, Kek! Alif tau!”

Kakek Adam tertawa lepas, membimbing Alif cucunya, melangkah pulang ke rumah ‘indah’ mereka. Yaah… mungkin kini ia masih sanggup menemani sang cucu mengikuti upacara bendera, meski hanya dari barisan paling belakang, terluar. Entah dengan tahun depan! Kerinduannya pada sang istri yang telah mendahului, sama besarnya dengan kerinduannya pada upacara tujuh belas agustus tahun depan.

Rona mentari sedikit menguning, dikawal awan sedikit menghitam, memberikan kesejukan pada langkah kakek Adam.

***

Cermin ini didedikasikan pada mereka yang mampu legowo diri, meski mereka adalah PAHLAWAN.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA

Ando Ajo, Jakarta, 17 Agustus 2014

Sumber ilustrasi di sini

Terima Kasih Admin Kompasiana ^^ MERDEKA!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun