Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3M

26 September 2014   20:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:23 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14117141331469311697

Jika hanya harus belajar dari buku, untuk apa adanya lembaga pendidikan? Media massa yang kian tak terkontrol. Entah itu perangkat elektronik, hingga media cetak. Dan masih menurut pandangan saya, yang paling berpengaruh adalah televisi. Bukan mengada-ada, sebab media inilah satu-satunya yang (nyaris) dimiliki setiap rumah, dan paling gampang diakses. Berita-berita yang terkadang menampilkan carut-marutnya politik negeri ini, tingkah para petinggi yang seolah orang yang sangat berkuasa. Penyelesaian masalah yang tak kunjung menemui titik terang, berlarut-larut. Ketidakadilan hukum. Di sadari atau tidak, seseorang akan cepat belajar (terpengaruh) dengan melihat/menyaksikan, bukan membaca atau mendengar.

Mungkin, ini bagian dari; Alam berkembang menjadi guru.
Namun, berkembang dalam hal yang salah. Berguru pada kelakuan negatif.
Segala ketimpangan inilah lambat-laun mempengaruhi pola pikir dan tingkah-laku generasi penerus.
Lagi-lagi benar pepatah tua; Larutnya (mengalirnya) air itu, ya ke hilir. Sadar ataupun tidak, sengaja atau bukan, tingkah-laku yang tualah yang berandil besar, membentuk karakter dan perilaku yang muda. Logisnya; yang lebih muda tentulah belajar dari yang lebih tua. Memang, terlalu naif bila saya mengatakan; semua generasi muda pastilah buruk, atau juga semua orang tua pun begitu.

Tidak, itu hanya segelintir saja, oknum. Namun, bila melihat dampak yang diberikan, ini sama saja dengan pepatah tua; Ulah nila setitik, rusak susu sebelanga. Orang-orang modern bilang; Efek domino. Yang di atas bobrok, maka bobroklah yang di bawah. Tentu masih banyak orang-orang tua yang bijaksana dan arif dalam hal mengajar anak mereka. Guru-guru yang mampu membangkitkan keinginan murid untuk berkarya. Dan tayangan-tayangan media yang sanggup memicu daya kreativitas generasi muda, tentunya dalam hal yang positif.

Akan tetapi, ini sama saja dengan; Umpama mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami. Atau; Menunggu ayam jantan bertelur. Yang lebih berat;Menunggu kuda bertanduk. Kalau bukan dari sumbernya (orang tua, lingkungan pendidikan, media massa) pastilah anak-anak muda yang akan malas mencari tahu, sebab hidup sudah terbiasa menerima. Satu dari sekian banyak hal terpenting (menurut saya) yang haruslah diajarkan pada generasi muda, yakni; Menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Mengajarkan sesuatu yang sangat berkaitan dengan ideologi negeri ini; Pancasila. Terkhususnya, pada sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Kepala dingin saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan satu masalah. Sebab bila hati panas, kepala yang dingin tentulah akan ‘menggelegak’ jua jadinya. Kepala dingin, mestilah dibarengi dengan hati yang tenang. Ibarat kata; Hati seluas samudera, pikiran seluas jagat raya. Dengan kata lain, dalam menghadapi satu masalah, hati akan tenang menerima segala macam keluhan bahkan cacian dan makian. Dan, pikiran akan mampu ‘berjernih’ diri, menampung segala macam ‘masukan’ hingga akan menghubungkan dengan ‘benang merah’ penyelesaian. Dan hal ini pun sangat berkaitan dengan ideologi pancasila, terkhususnya sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa.

Leluhur bijak mengajarkan; Bulatnya air karena pembuluh, bulatnya kata karena mufakat. Kasarnya, air yang adalah benda tak memiliki bentuk tetap, dapat dibentuk dengan bantuan benda lain. Dalam hal ini, pembuluh/pipa/selang.

Begitu juga dengan perkataan (masalah), semua dapat diselesaikan dengan mufakat. Dengan kata lain, keputusan bersama, yang tentu saja di sini mengacu pada musyawarah. Generasi muda itu umpama; Kertas yang putih. Bila kertas putih ditulis (diisi) dengan kata-kata pujangga yang indah, bahasa yang santun, gambar panorama mengagumkan, tentulah kertas yang putih menjelma menjadi sesuatu yang berharga. Dan tentu pula bila sebaliknya, kertas yang putih tidak sedikit jua berharga, tidak pula hanya sekedar menjadi pembungkus gorengan pedagang kaki-lima.

Pun jua; Umpama si pohon rindang dengan buah yang besar dan nikmat, ianya dipupuk dan dirawat semenjak tunas. Pohon yang rindang memberi keteduhan, alih-alih oksigen untuk kehidupan. Buah yang nikmat yang mampu meredakan dahaga sekaligus rasa lapar. Jika generasi muda ‘dipupuk’ baik sedari kecil – entah itu dari orang tua, lingkungan pendidikan, juga media massa – tentulah ia akan menjadi berguna sebagaimana halnya si pohon rindang tadi. Bahkan mungkin lebih daripada itu.

Dan saya yakin seyakin-yakinnya, bila orang-orang tua memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik, maka generasi muda tentulah tidak akan main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Tentulah dengan begitu saya, dia, kami akan mengenal apa itu; Musyawarah Mencapai Mufakat.

Meminta maaf itu mulia, lebih mulia lagi memberi maaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun