Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Lelah: Terima Kasih

25 Oktober 2014   06:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:48 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414166975235131801

Aku Lelah 7

Terima Kasih

Tiada hari kini

Yang terlewati tanpa bayangmu

Sepi hariku sunyi

Terlalu dalam menusuk terlalu

*

Suasana kamar ini masih sama. Tidak banyak yang berubah, semenjak seminggu yang lalu. Tidak perabotan itu, tidak pula laptop di atas meja. Hanya satu saja yang berubah. Tidak ada lagi gairah hati untuk membuka laptop itu. Menyalakannya. Enggan. Tiada lagi hasrat membuka laman media sosial itu. Tidak ada. Seperti waktu-waktu yang banyak kuhabiskan bersenda gurau denganmu sebulan terakhir. Chatting. Hingga jari jemari ini keriting, he-he…

Entah kenapa… tapi, malam ini keinginanku menyalakan laptop ini, membuka laman media sosial itu… begitu sangat kuat. Membaca lagi, satu per satu pesan yang saling kita lemparkan. Mungkin, aku merasa kehilangan. Entahlah…

Sebab, bila harus jujur dan mengucapkannya langsung padamu, tentang kesepian ini, kehilangan ini, aku… sungguh tidak sanggup. Kamu pasti sangat tahu itu… sobat.

*

“Terima kasih… sudah mau menjadi sahabat saya,” itu, pesan pertamaku yang kukirimkan via inbox ke akun-mu.

Jujur, aku mungkin hanya iseng saja mengirimkan permintaan pertemanan padamu, kala itu. Namun, engkau merespon dengan baik. Sangat baik. Padahal, tidak sedikitpun aku mengenalmu. Informasi pribadimu di laman itu tidak banyak. Selain usiamu lima tahun lebih tua dariku, dan… tentang dirimu yang mencintai kehidupan yang diberikan Tuhan. Itu saja, hanya itu.

“Sama-sama, terima kasih juga udah mau menjadikanku temanmu,” dan diakhiri dengan si smiley yang tersenyum dengan sebelah mata mengedip.

Hanya pesan itu saja perkenalan kita. Tidak ada pertanyaan seputar pekerjaan, kuliah atau tidak, atau… sekadar menanyakan di mana kamu dan aku tinggal.

*

“Gimana kabarnya hari ini?” itu, pesan inbox-ku di hari ketujuh.

Dan entah kenapa, dalam seminggu ini kita begitu akrab. Seolah dua orang yang saling kenal terpisah jauh, dan dipertemukan oleh media sosial ini. Aku… seolah berbicara dengan teman dekat, atau bahkan mungkin kakak kandung, meski hanya lewat keyboard ini saja.

“Seperti hari kemarin… tetap indah dan menakjubkan,”

“Keknya, hidup kamu enak banget ya?”

“Bukan banget lagi…”

“Terus?”

“Uwenak bingits, bingiiits… lol”

Dan aku, hanya bisa tertawa. Aku tidak tahu apakah menyindirmu atau bagaimana, tapi yang kurasakan jelas dada ini terasa plong, saat tertawa itu.

“Eeh… boleh minta sesuatu?!”

“Hatiku? Nih… ambil!”

“Hahaha… gokil! Gak lah! Sapa juga yang mau hati kamu?! Hati-ampela di warteg bolehlah… lol”

Dan lagi-lagi si smiley yang tertawa terbahak-bahak sambil berurai air mata.

“Hehe… maap! Terus?!”

Sungguh, saat itu aku sangat berat hati untuk mengungkapkannya. Bertebal muka. Tapi kupaksakan, sebab aku butuh pekerjaan. Lulusan SMU sepertiku ini sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dan, kamar kost ini kian terasa pengap bila ada teriakan ‘uang kost-nya kapan?’. Menggelikan.

“Gini, apa… eee kamu punya informasi, eee lowongan kerja, di sana?!”

“Lowongan kerja? Kamu mau kerja?!”

“Ya iyalaaah… masak mo main!”

“Hahaha… maap! Emang kamu baru lulus atau gimana?!”

“Udah dua tahun sih. Kemarin itu dah kerja di resto gitu, tapi… yaa berhenti, hmmpas aku add kamu itu tuh aku berhentinya!”

“Hoo… kenapa berhenti? Kan udah bagus punya kerjaan!”

“Habis gimana?! Selalu ribut ma bos-nya, hehehe… kadang, aku ngerasa capek… lelah. Lelah menjalani hidup kek gini…”

“Hehe, kok kesannya kamu nyalahin takdir?”

“Bukan gitu…”

“Lhaa, terus?!”

“Yaa capek aja! Lelah ke sana ke mari nyari kerjaan. Hahh… entahlah!”

Dan setelah itu, kamu selalu memberikanku nasihat-nasihat bijak bila aku curhat tentang pekerjaan padamu. Tentang, orang yang kusuka. Tentang semua hal yang entah kenapa aku begitu terbuka membicarakannya padamu. Entahlah… Kadang, aku merasa lebih dekat denganmu daripada orangtua kandungku sendiri.

Kamu seperti seorang Ustad, atau Pastur, mungkin juga seorang Rahib. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas setiap nasihat yang kamu berikan, itu terasa seperti seseorang yang lebih tua dalam satu hal.

Setiap nasihatmu, di mataku seperti lukisan sang maestro, seperti kecepatan tangan sulap ilusi. Dan selalu sengan sabar, tidak sekali jua seingatku kamu menentang ucapanku. Tidak sekali pun. Kadang aku berpikir, mungkin kamu itu memang orang kaya, atau setidaknya anak orang kaya. Kadang, mungkin kamu pemilik sebuah perusahaan besar. Kadang, mungkin saja kamu itu sebenarnya orang tua, jompo yang memalsukan keterangan pribadi di akun-mu.

Tidak sekali jua kamu mengeluhkan masalahmu sendiri. Kamu hanya menjadi pendengar setia dan penasihat yang baik untukku. Seolah aku ini tengah konsultasi atau sesuatu. Sedang melakukan terapi atau treatment.

*

“Ceritakan padaku!”

“Soal apa?”

“Yaa… tentang kamu dong! Selama ini perasaan cuman aku doang yang cuap-cuap, kamu gak pernah ngasi tau tentang dirimu sendiri… ya, kan?!”

Dan kamu hanya membalas dengan mengirimkan si smiley tersenyum tersipu. Arrgg, aku tidak butuh itu.

“Ayolah… ni gak adil namanya!”

“Haha oke-oke, hmm tentang apa?!”

“Yaa kamulah, capek deee… kerjaanmu, hidupmu!”

“Hmm… gimana ya bilangnya? Oke mungkin gini, kerjaanku tuh duduk-duduk doang, sekali-kali yaa diselingi tidur-tiduran… juga, my life is wonderful”

“Tuh kan… kamu pasti orang kaya bingiiits tuh, enak banget hidupnya, uncang-uncang kaki!”

“Haha, gak gitu juga keleusss…”

“Terus apa dong namanya? Wong OL mulu, kapan kerjanya? Kalo bukan bos apa lagi tuh?! Nah, kan?”

“Lolll…”

“Berhentilah! Ngakak mulu deh perasaan… enak kali ya, kalo jadi kamu!?”

“Believe me, kamu mungkin akan mensukuri keadaanmu ketimbang aku!”

“Sotoy banget!”

“Hahaha… ya udah! Kamu mau bertukar tempat? Tukar peran?!”

“Hahaha, andai saja bisa… gak akan nolak aku hehe…”

-----

“Hei…”

-----

“Kamu masih di sana?”

-----

“Hallooo…”

*

Dan, tiga hari berturut-turut setelah itu akun-mu tidak pernah lagi aktif. Pagi, siang, sore, malam bahkan hingga dini hari terus kutunggu kabarmu, sapamu, tapi… kamu seolah menghilang. Aku, kehilangan candu.

Jujur, ada kecemasan dalam diriku tentang itu. Tapi, lagi-lagi aku hanya bisa mendesah dan mengingat semua nasihatmu. Tidak menaruh sak wasangka yang buruk terhadap seseorang. Yaa, aku hanya berpikir, mungkin kamu sedang sibuk. Terlalu sibuk mengurusi harta, mungkin.

*

Setelah tiga hari tidak ada kabar berita darimu, jujur… aku kehilangan gairah untuk online lagi. Tiada hasrat untuk membuka laman media sosial ini lagi.

Dan pada pagi hari itu, seminggu yang lalu, saat aku akan keluar rumah mencari pekerjaan. Di layar laptop-ku terdengar notifikasi pesan masuk. Setengah tak bergairah, kupaksakan diri melangkah ke meja itu. Dan membuka inbox, itu… pesan dari akun-mu.

“Sobat baikku, bila sudi… datanglah ke rumahku…”

Entah apa yang aku pikirkan, namun bergegas kukeluarkan buku memo dan pena, mencatat alamat rumahmu yang tertera jelas di layar laptop-ku. Dan keyakinanku jika kamu adalah orang kaya semakin membesar. Alamat rumahmu itu, perumahan elite di Jakarta Utara. Tunggu sobat! Aku pasti akan datang setelah interview kerjaan ini. Dan kamu, harus tanggung jawab! Ha-ha.

*

Hari itu, kembali aku harus bertunduk muka. Bermalu wajah. Lagi dan lagi menerima penolakan. Dan aku yakin, bila kukabarkan padamu, kamu pasti mengeluarkan lagi nasihat-nasihat tua itu. Ahh… aku jadi penasaran. Benar tidak, jika kamu itu masih muda, atau… jompo seperti yang aku pikirkan selama ini?!

Setengah lesu aku melangkah gontai menuju rumahmu. Ahh, kawasan elite ini… aku layaknya seorang pengemis atau pemulung. Aku sempat memikirkan; Kamu tahu? Aku ini sangat capek! Jalan kaki ke rumahmu, itu hampir satu jam. Panas berdebu. Kamu harus tanggung jawab! Aku tidak peduli jika nanti kamu ternyata seorang jompo. Dan, banyak rencana licik lainnya yang terpikirkan olehku saat itu. Mengerjaimu.

Jujur saja, ada dua hal yang membuatku mau jalan kaki jauh-jauh datang ke rumahmu. Pertama dan sangat jelas, aku akan mengetahui siapa kamu sebenarnya. Kedua dan ini yang paling membuatku berdebar-debar, entah kenapa aku sangat yakin bila kamu akan memberikanku pekerjaan. Yaa, pekerjaan. Bukankah hampir sebulan ini aku selalu memintamu mencarikanku pekerjaan.

*

Aku disambut seorang wanita muda, belakangan kuketahui jika dia adalah pembantumu. Sungguh, tidak sedikit jua ada kesan pembantu pada wanita itu. Tidak pakaiannya, tidak juga perawakannya.

Ia membawaku memasuki istanamu, istana yang hening. Begitu sunyi dan sepi. Dan membawaku bertemu denganmu, di kamar besar dan mewah itu. Sekaligus… membuatku terhenyak. Diam seribu bahasa. Ke mana perginya segudang rencana licik tadi?

“Hai… Ana!” suaramu terdengar lemah, sangat lemah.

Kamu, terbaring tak berdaya di kasur itu. Berbalut pakaian serba putih. Di kelilingi sejumlah orang. Ibumu, Ayahmu, pembantumu, dan seorang dokter. Dan wajah setiap mereka menyiratkan kesedihan.

“A-dam…” aku tidak tahu apa yang terjadi, namun suara ini begitu sulit keluar dari mulutku. Tercekat. Menyangkut begitu saja di tenggorokan.

Ibumu memberikan tanda, agar aku lebih mendekat padamu. Meski ragu, tetap kuturuti. Berdiri di sisi kananmu. Dan Tuhan… dadaku begitu sesak. Hidungku terasa memanas yang memaksa sepasang mataku menghangat, bergulir jatuh di pipi.

Pandangan matamu kurasa teduh, meski rongga itu begitu cekung. Senyummu juga, sangat damai, meski sepasang bibirmu terlihat sangat pucat.

“Masih mencari pekerjaan, Na?!” aku tidak tahu harus menjawab apa? Hanya mendengus menahan tawa. Kamu pun tertawa.

“Apa yang terjadi, Dam?!” kugenggam tanganmu yang kurus putih. Tinggal kulit pembalut tulang. Dan air mataku tidak mau berhenti, terus saja mengucur.

“Berhentilah menangis… Ana!” dan aku kian cemas. Kamu terbatuk-batuk. Batuk yang sangat sulit sekali kau keluarkan. Setiap kali batuk, setiap kali itu jua keningmu mengerenyit menahan sakit.

“Dam…” aku tidak kuasa. Duduk di samping mu, di atas ranjang yang sama.

“Ti-tidak apa-apa! Gak ada yang terjadi kok!” ujarmu masih dengan senyuman. “I-nilah hidupku, Na! dan aku… sangat mensukurinya. My life is wonderful, remember!?”

“Bohong!” lirihku, dan entah kenapa aku justru tersenyum meski hati protes, meski mataku terus saja berair.

“Ana… waktuku tidak panjang. Bahkan, para Malaikat sudah mau menjemputku, Na!” yaa Tuhan. Ucapanmu kala itu benar-benar membuatku merinding dalam tangis yang tertahan. Tidak aku saja. Orangtuamu, pembantumu, juga dokter itu. “Leukimia ini memaksaku, Na. Hmm, paling tidak aku tidak bohong padamu, kan?” aku hanya sanggup mengangguk. Tidak lagi berani membantahmu, seperti chatting kita yang lalu. “Na… terima kasih ya!”

“Untuk apa?!” ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa berbicara lurus seperti dirimu?

“Untuk waktumu sebulan ini… dan, maaf! Aku tidak bisa lagi… me… uhukk nemanimu, Na! maaf! Terima kasih Na, terima kasih…”

*

Aku… masih menatap layar laptop ini. Tidak ada yang bisa kulakukan. Hanya isak tertahan yang menjadi teman.

Aku, malu. Sangat malu padamu sobat. Sangat malu. Mengatakan capek padamu, aku lelah?! Ya Tuhan, naifnya diri ini. Kamu yang seharusnya mengucapkan kata itu, menuliskan kalimat itu. Tapi… sedikit pun tidak pernah. Sekali pun tiada terlihat.

Harus kuapakan harta pemberianmu ini sobat? Harus kuapakan? Kamu bilang ini hadiah pertemanan kita. Teman? Kamu bilang teman, tapi kamu pergi selamanya!

Saat aku kekurangan, aku meminta segunung harta pada Tuhan. Saat Tuhan memberikan, aku tidak tahu harus berbuat apa pada harta ini, sebab Dia membawamu serta.

Kini, kamu telah tenang di sana. Bersama Tuhan, di surga terindah.

Dan aku… kehilangan. Tidak ada lagi sahabat yang akan mendengarkan curhatku. Menasihatiku. Memberiku semangat. Tidak ada lagi.

Selain… kenanganmu ini, inbox chatting-an kita.

***

Damailah kawan damailah sobat

Di sini aku meneruskan hidup

Menjalani hari hari meski tanpamu

Melanjutkan keindahan yang kau yakini

Baca juga cerita lainnya; Aku Lelah 1 , Aku Lelah 2: Keramat , Aku Lelah 3: Salah , Aku Lelah 4: Rapuh ,

Aku Lelah 5: Pamungkas

Ando Ajo, Jakarta 24 Oktober 2014

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun