Oleh: Adolardus Gunung
Pandahuluan
Suatu kebanggaan besar bagi masyarakat Manggarai, NTT adalah memiliki kain songke yang bercorak dan bermotif yang unik dan menarik sebagai ciri khas daerah. Daerah Manggarai, NTT merupakan daerah yang memiliki banyak ragam tenun ikat.
Daerah ini juga terkenal dengan beraneka kerajinan tangan, baik kerajinan tangan yang terbuat dari bahan dasar alami maupun kerajinan tangan yang terbuat dari bahan dasar buatan. Salah satu kerajinan tangan yang terbuat dari bahan buatan adalah tenun ikat songke Manggarai.
Kain songke merupakan sebuah kain yang dibuat dengan cara ditenun, yang memiliki suatu tanda yang menunjukan daerah asal karena faktor lingkungan Geografis termasuk faktor alam dan faktor manusia. Kain songke memiliki nilai ekonomis yang tinggi, selain karena kain songke merupakan kain langkah karena hak atas Indikasi Geografisnya maupun karena motifnya yang unik dan menarik.
Karena nilai ekonomisnya tinggi, dan hak atas Indikasi Geografis yang melekat pada kain songke itu sendiri, banyak daerah-daerah di luar Manggarai yang ingin memproduksi kain songke dengan cara melanggar hukum dan dapat merugikan daerah asal kain songke yakni daerah Manggarai, NTT. Untuk itu, kain songke memerlukan payung hukum sebagai perlindungannya.
Kain Songke Memiliki Hak Atas Indikasi Geografis.
Pengertian Indikasi Geografis sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan Geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Kain songke Termasuk dalam kategori memiliki hak atas Indikasi Geografis. Hal ini terlihat jelas dari tanda berupa motif yang terdapat pada kain songke.
Tanda berupa motif pada kain songke lahir karena adanya faktor alam dan faktor manusia. Kain songke memiliki beberapa motif. Pertama, Motif Su’i. Motif ini berupa garis-garis yang seolah memberi batas antara satu motif dengan motif dengan yang lainnya. Namun, garis-garis ini bukannya tanpa arti. Su’i melambangkan segala sesuatu yang memiliki akhir. Seperti hidup yang cepat atau lambat akan menemui ujungnya. Su’i juga dapat berarti kehidupan masyarakat Manggarai dibatasi oleh garis-garis berupa peraturan adat yang tidak boleh dilanggar.
Kedua, Motif Mata Manuk. Mata Manuk artinya mata ayam. Motif ini dikaitkan dengan Tuhan yang Maha melihat. Masyarakat Manggarai meyakini kebesaran Tuhan yang mampu melihat hingga ceruk paling gelap sekalipun. Perbuatan manusia tidak akan luput dari pengamatan-Nya.
Ketiga, Motif Wela Ngkaweng. Wela berarti bunga. Sementara Ngkaweng adalah sejenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Manggarai untuk mengobati luka hewan ternak. Wela Ngkawne mengandung makna bahwa kehidupan manusia yang bergantung pada alam.
Keempat, Motif Wela Runu. Wela Runu adalah sejenis tumbuhan bunga yang berukuran kecil. Motif ini mengandung arti bahwa meskipun tanpak tak berarti, namun setiap kehidupan di dunia ini memiliki manfaat. Tak perlu berkecil hati bila tak dianggap. Sebab dalam momentum tertentu keberadaan seseorang akan memberi arti besar bagi sesama.
Kelima, Motif Ntala. Ntala berarti bintang. Motif ini terkait erat dengan salah satu petuah Manggarai “Porong langkas haeng ntala” yang artinya hendaklah mencapai bintang. Motif Ntala bermakna hendaknya kehidupan selalu berimbas positif bagi sesama serta memberikan perubahan pada lingkungan sekitar. Kelima, Motif Ranggong. Ranggong adalah laba-laba. Bagi masyarakat Manggarai, laba-laba adalah hewan yang ulet dan bekerja keras dalam hidupnya. Kejujuran dalam hidup akan membuahkan hal baik, disenangi dan dimuliakan oleh banyak orang.