Mohon tunggu...
Ando Gunung
Ando Gunung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hukum, Kemiskinan, Budaya, Pariwisata, Bisnis.

Adolardus Gunung, Asal (NTT) Domisili di Jakarta Menulis Untuk Melawan Lupa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal 7 Tata Ruang Budaya Manggarai

7 Mei 2020   20:11 Diperbarui: 7 Mei 2020   20:15 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Adolardus Gunung

Mbaru Tembong/Mbaru Gendang (Rumah Adat Manggarai)

Mbaru Tembong (mbaru=rumah, tembong=gong/gendang). Arti kata mbaru tembong adalah rumah gong atau rumah gendang. Arti budaya mbaru tembong atau mbaru gendang adalah rumah adat.  Rumah adat ini sebagai wadah atau tempat penyimpan gong dan gendang, sehingga disebut rumah gendang atau rumah gong. 

Fungsi gong adalah untuk mengundang warga kampung dalam rangka mengadakan rapat/musyawarah umum warga kampung. Warga diundang dengan memukul gong. Gong sebagai ganti surat atau lonceng. Kalau ada acara pesta adat, misalnya sanda, mbata, caci, acara penti dll, maka harus memainkan gong dan gendang di mbaru tembong. Atap rumah tembong dari wunut (ijuk). 

Atapnya berbentuk bundar menyerupai piramida dan bagian ujung atas atapnya diletakkan tanduk kerbau (rangga kaba). Simbol ini sebagai lambang kejantanan, dan betapa pentingnya hewan kerbau dalam kehidupan orang Manggarai. Kerbau digunakan pada saat membajak sawah.

Natas (Halaman Kampung)

Natas artinya halaman umum kampung. Luas natas hampir seluas ukuran lapangan sepak bola = 100 100m, tetapi luas natas diupayakan agar bisa dipakai oleh warga kampung untuk kemah perkawinan (ndei kawing), untuk bermain caci (maeng caci), tempat olah raga anak-anak (osang labar data koe), dll. 

Compang (Tempat Sesajian)

Compang merupakan tempat sesajian atau sekitarnya. Compang berbentuk bundar menyerupai meja persembahan, terbuat dari tumpukkan tanah dan batu-batu. Tapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari bahan dasar semen. Di tengah-tengah compang tumbuh pohon besar (langke) yang sengaja ditanam. Bentuk compang menyerupai pohon beringin. 

Alasan mengapa menanam pohon beringin karena pohon tersebut jarang atau bahkan tak mati. Daunnya gugur dan tumbuh silih berganti disetiap tahun. Pohonnya besar, daunnya yang rindang menjadi tempat berteduh di waktu siang bolong, terlindung dari trik matahari, sehingga suasana hati dan pikiran masyarakat terasa sejuk, aman dan damai. 

Dahulu moyang Manggarai menganut kepercayaan animisme dan dinamisme (percaya pada roh-roh halus atau dewa). Diyakini bahwa roh-roh halus itu (poti, jing, setan, roh-roh leluhur) tinggal pada pohon-pohon besar (langke), di sumber air (one ulu wae), di rawa-rawa (one temek), dan di hutan lebat (puar mese atau poco. Itulah alasan mengapa di compang ditanam pohon beringin (langke).

Wae Teku (Mata Air)

Wae teku arti harafiahnya air timba. Kata ini menunjuk pada kata benda. Benda artinya dengan istilah teku wae (timba air). Kata teku wae menekankan pada kata kerja yaitu melakukan timba air. Jelaslah bahwa kata teku menandakan sesuatu yang berhubungan dengan air (wae). Wae teku adalah suatu istilah budaya Manggarai yang bertautan dengan tata ruang budaya Manggarai. 

Wae teku adalah bagian dari kebutuhan yang pakaing vital dalam kehidupan manusia. Menurut kebiasaan moyang Manggarai arau orang Manggarai bahwa kalau hendak membuka kampung baru harus ada wae teku-nya. Meskipun di dekat kampung itu ada air sungai, air sawah, air danau, air laut, tempat teku wae tetap perlu. Oleh karena semuanya itu bukan wae teku dalam arti sebagai bagian dari tata ruang budaya. Wae teku harus dibersihkan (barong wae), diadaKn sesajian doa agar tetap bersih, tidak ada penyakit, dan selalu lancar saluran mata airnya (toe mnga meti). 

Lingko/Uma Duat (Kebun)

Uma duat artinya tanah garapan sebagai tempat mencari makanan. Sebetulnya bisa diistilahkan saja uma (kebun) untuk menunjukan kata uma duat itu. Dengan menyebutkan kata uma, dapat dipahami bahwa itu maksudnya ialah kebun. Dalam tradisi Manggarai sebutan uma duat lebih menegaskan maknanya sebagai kebun yang sedang digarap/diolah. Istilah uma duat menekankan makna kerja bagi orang Manggarai. Kerja atau bekerja di kebun adalah bagian dari hidup manusia. Kerja kebun dipandangnya sebagai mata pencahariannya yang utama, baik kerja di sawah (duat one uma sawah), maupun kerja di ladang (duat one uma masa). 

Boa (Kuburan)

Boa artinya kubur, kuburan, makam. Boa ialah tempat pemakaman leluhur, keluarga, sanak saudara yang telah meninggal dunia. Apabila dari salah seorang anggota keluarga, maka dimakamkan dekat kuburan anak saudara atau leluhur sesuai garis keturunan terdekat. Pada bagian kepala atau kaki kubur ditanami batu besar, panjang, dan ceper (watu mese, lewe, langkas agu lempe). Cuma ukuran batu pada bagian kaki kubur agak kecil daripada dibagian kepala kubur. 

Kebiasaan ini dilakukan moyang Manggarai dan tetap diwariskan sekarang ini, meskipun tidak seratus persen diterapkan sekarang ini karena pengaruh modernisasi dan tehknologi. Akhir-akhir ini kebanyakan kuburan dibuat semen, sehingga batu-batu besar tersebut kemungkinan tidak ada/kurang digunakan. 

Cuma motifnya masih tampak, dilihat dari bentuk kubur yang ada, bahwa bagian kepala kubur lebih tinggi susunan batu batanya atau temboknya daripada di bagian kaki kubur.  Adapun dasar pertimbangan mengapa ditanami batu besar di bagian kepala dan kaki kubur, atau posisi kubur bagian kepala lebih tinggi daripada di bagian kaki, supaya tidak terlupakan oleh generasi, cucu, cece, berikutnya.

Golo Lonto (Kampung Halaman)

Golo Lonto terdiri dari dua suku kata yaitu golo dan lonto. Golo artinta Gunung, bukit, keris, sedangkan lonto artinya duduk. Kedua kata itu diucap sekaligus golo lonto, maka maknanya ialah kampung halaman. Terapi kalau kata golo diikuti dengan nama keterangan tempat (nama kampung), jabatan, maka cukup saja menggunakan kata golo kemudian diikuti kata lainnya. Misalnya tua golo (kepala kampung), golo karot (kampung karot), golo lelak (kampung lelak), dan seterusnya. 

Ada juga kata lain golo lonto ialah kata beo. Kata beo bisa berdiri sendiri, tanpa diikuti dengan kata lainnya dan artinya tetap kampung. Kalau diikuti kata yang lain, tetap artinya tidak berubah yakni tetap artinya kampung. Cuma dalam penggunaan istilah tertentu, maka kata beo ini tidak digunakan, seperti tua beo menunjuk pengertian sebagai kepala kampung. Istilah tua beo tidak tepat dan tidak lazim digunakan. Yang lazim digunakan adalah tua golo (kepala kampung). 

tulisan ini juga telah tayang di blog pribadi penulis

Sumber: Buku

Adi M. Nugroho, Budaya Manggarai. Selayang Pandang. Cetakan ke I: 2006

Adolardus Gunung--dokpri
Adolardus Gunung--dokpri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun