Mohon tunggu...
And Media
And Media Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Journalist Graphic Design Web Development

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Empat Tahun Berlalu, Masih Kuingat Betul Pucat Pasih Wajahmu yang Berbalut Kain Mori

23 Maret 2019   21:57 Diperbarui: 23 Maret 2019   21:59 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi (source: https://redtea.com)

Hari-hari dimana umat muslim diwajibkan untuk menjalani puasa di siang dan shalat tarawih pada malam, aku masih teringat betul bagaimana peristiwa di penghujung Bulan Ramadhan kala itu. Pucat pasih wajahmu yang berbalut dengan kain mori, bersemayam di kamar jenazah, membuat mata dan ingatan ini tak lekang oleh zaman.

Kebetulan aku menjadi salah satu relawan dibawah naungan Kementerian Sosial RI, yang biasa membantu pemerintah menangani berbagai permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di masyarakat.

Berbagai kegiatan sosial yang kujalani, semuanya memang berdasar atas hati nurani dan keikhlasan. Namun, ada satu peristiwa menarik, yang mungkin saja bagi orang lain tak peduli, tapi buat kami sebagai relawan sosial, membantu orang lain adalah sebuah bentuk pengabdian dan ibadah.

Siang itu, aku mendapat informasi jika ada seorang perempuan (Sebut saja namanya Nia, 25 tahun-red) sedang mengalami sakit parah dan menjalani perawatan di rumah sakit. Entah penyakit apa yang Nia derita, namun dari sepengakuan pihak rumah sakit, jenis penyakitnya tergolong menular.

Dari informasi yang kudapat, Nia, tinggal seorang diri di salah satu kos daerah Surabaya Barat dan sudah sekitar dua minggu mengalami sakit. Karena tetangga sekitar merasa iba, kemudian melaporkan hal itu ke pihak pengurus RT setempat. Oleh pihak RT, Nia kemudian dibawah ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Namun sayangnya, tidak ada yang mengetahui keberadaan orang tua ataupun keluarga Nia.

Berbekal dari KTP yang Nia miliki, aku pun bergegas mencari alamat keluarganya yang menyebut tinggal di daerah Surabaya Timur. Sekitar satu jam lebih aku berputar-putar mencari alamat keluarga Nia, akhirnya tibalah aku di rumah kediamannya.

Ternyata, rumah yang aku tuju telah dihuni oleh orang lain. Sepengakuan pemilik rumah, ia telah membeli rumah itu sekitar 10 tahun yang lalu dari keluarga Nia. Pemilik rumah  juga menjelaskan jika tidak mengetahui kemana selanjutnya keluarga Nia tinggal.

Setelah mendapat informasi itu, aku pun tak kurang akal. Aku kemudian mendatangi rumah ketua RT setempat. Kebetulan, saat itu, Pak RT sedang libur dan berada di rumah. "Wah sudah ndak ada mas keluarga dia, saya juga tidak tahu mereka pindah kemana, dulu juga saya masih belum menjabat ketua RT soalnya," kata Pak RT itu.

Sekitar setengah jam berdiskusi dengan Pak RT, sembari membuka data arsip lama, alhasil data keluarga Nia pun kutemukan. Dahulu memang Nia tinggal bersama kedua orang tuanya sesuai dengan alamat KTP yang ia pegang. Dari data arsip juga tertulis jika Nia adalah anak tunggal.

Namun, tidak ada informasi yang menyebutkan kemana selanjutnya orang tua Nia tinggal. Yang pasti, sekitar 10 tahun yang lalu, kedua orang tuanya memilih untuk menjual rumah dan tinggal ke luar Kota Surabaya. Entah karena apa, tapi sepertinya, Nia lebih memilih untuk merantau kerja dan tinggal indekos di Surabaya.

Kemudian aku mencari informasi ke beberapa orang yang dulu pernah bertetangga dengan keluarga Nia. Ironinya, banyak dari mereka yang lebih menutup mulut, dan tidak menghiraukan pertanyaanku. Mungkin saja dahulu keluarga Nia pernah buat kesalahan, sehingga banyak dari tetangga yang lebih memilih untuk diam dan seakan tak mengenalnya.

Padahal, aku hanya ingin menggali informasi kepada mereka, tempat tinggal orang tua Nia sekarang. Aku hanya ingin menyampaikan kepada orang tua Nia, jika anak semata wayangnya sedang mengalami sakit parah.

Aku pun tak menyerah untuk menggali informasi keberadaan orang tua Nia. Setelah beberapa kali bertanya ke warga sekitar, Alhamdulillah ternyata masih ada juga tetangga Nia yang baik hati. Ia memberikanku informasi jika kedua orang tuanya sekarang tinggal di salah satu kecamatan di daerah Mojokerto.

Aku pun segera melakukan kontak dengan petugas di sana, agar mereka dapat membantu mencari dan menghubungi keberadaan orang tua Nia, dengan berbekal nama kedua orang tuanya.

Belum sempat mengabari pihak keluarga, perempuan kelahiran Surabaya ini (Nia-red) sudah dipanggil untuk menghadap yang khalik. "Innalillahi wainnailaihi rojiun". Pihak rumah sakit mengabarkan jika Nia telah meninggal, dan jenazahnya di semayamkan di kamar mayat sembari menunggu pihak keluarga menjemput.

Malam hari akhirnya tiba, aku pun menjalani rutinitas seperti biasa di Bulan Ramadhan. Usai shalat tarawih, aku bersama kawan relawan lain mengadakan pertemuan. Kami berempat sepakat berkumpul untuk membahas rencana pemakaman jenazah Nia.

Disela-sela diskusi, kami mendapat kabar dari petugas di Mojokerto, jika rumah orang tua Nia tinggal sudah ditemukan. Namun sayangnya, hanya tinggal sang ayah, sementara sang ibu telah meninggal dunia. Diketahui, Ayah Nia (Sebut saja namanya Pak Pri usia 65 tahun-red) hanya tinggal seorang diri. Pak Pri mengaku jika sudah 10 tahun yang lalu tidak bertemu lagi dengan putri semata wayangnya itu.

Mungkin saja, sejak rumah mereka dijual, Nia dan kedua orang tuanya lebih memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Pak Pri juga mengaku jika Nia sebetulnya bukan anak kandungnya melainkan adopsi. Batinku pun berkata, "Malangnya anak ini (Nia), dengan kondisi nazak tanpa ada satupun keluarga yang mengetahui," kataku.

Karena keterbatasan biaya dan kondisi sakit-sakitan, Pak Pri memilih untuk menyerahkan sepenuhnya pemakaman putrinya ke kami. Di atas sebuah materai, Pak Pri dibantu relawan di wilayahnya untuk membuat pernyataan tertulis, dan mengirimkannya ke kami melalui foto Whatsapp.

Tanpa berpikir panjang, kami menghubungi dinas terkait untuk membuat surat rekomendasi orang terlantar, agar jenazah Nia bisa segera kami ambil dari rumah sakit untuk dikebumikan.

Esok hari pun tiba, kami berempat berencana menjemput jenazah Nia. Tepat pukul 10.00 WIB, kami berempat tiba di kamar jenazah. Aku pun tak tahu bagaimana wajah Nia, walaupun hanya sekadar melihat melalui KTP, itupun tak seberapa jelas. Pantas saja, di kamar mayat memang ada beberapa jenazah yang masih tersimpan dan belum diambil pihak keluarga.

Petugas kamar mayat kemudian menunjukkan ke kami, jika Nia merupakan salah satu jenazah yang paling muda. Kulihat salah satu jasad perempuan berambut panjang dengan wajah pucat pasih dan mata tertutup, menarik langkahku untuk mendekat. Aku dan kawan-kawanku pun yakin jika perempuan itu adalah jenazah Nia.

Berselimut kain putih, kulihat wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Jika digambarkan, mungkin saja dia saat ini sedang menangis. Entah penyakit apa yang ia derita, namun wajahnya terlihat begitu sendu.

Foto ilustrasi (source: google)
Foto ilustrasi (source: google)
Setelah kami yakin jika itu jenazah Nia, selanjutnya kami mengurus keperluan surat ke pihak rumah sakit, agar jenazah bisa segera kami makamkan. Kami juga menyampaikan kepada petugas kamar mayat, agar jenazah Nia juga dimandikan dan dikafani, karena dia orang terlantar.

Ironisnya, salah satu petugas kamar mayat kemudian nyeletuk ke kami, "Kalau di sini memandikan jenazah dan mengkafani biayanya Rp 500 ribu mas," ucapnya.

Kami berempat pun langsung terdiam. Dengan kondisi puasa, akupun mencoba bersabar, dan menahan amarah. Ironis memang, seseorang dengan kondisi terlantar dan telah meninggal, masih saja dibebani dengan biaya.

Sembari menyodorkan surat dari dinas yang menjelaskan bahwa perempuan itu adalah orang terlantar, aku terus melakukan komunikasi secara persuasif dengan petugas itu. Namun, tetap saja ia masih ngeyel dan tidak mau tahu akan hal itu.

Setelah lama berdebat, akhirnya petugas itu pun menyerah, dan menyarankan kami untuk membeli kain kafan sendiri. Pihaknya akan memanggilkan mudin untuk memandikan serta mengkafani jenazah Nia. "Yowes Mas, sampean tuku o kain kafan ambek kembang dewe. Engkuk mudin e pean kasih uang sak ikhlase," ujar petugas itu.

Mendengar hal itu, aku segera menghubungi petugas liponsos, agar mereka menyiapkan kain kafan. Kami juga langsung menghubungi petugas makam untuk menyiapkan liang lahat untuk pemakaman Nia.

Usai semua siap dan jenazah telah terkafani. Aku ingin melihat wajah Nia untuk yang terakhir kalinya. Wajahnya yang pucat, dengan berbalut kain mori seakan ia tersenyum melihatku. Dalam hati pun aku berkata, "Semoga engkau tenang di alam sana nduk, Al-Fatihah," ujarku dalam hati.

Kami bertiga kemudian mengangkat jenazah Nia ke mobil ambulance yang telah siap untuk bergegas menuju tempat pemakaman umum. Miris sekali memang, hanya kami berempat dan kedua petugas ambulance yang justru bukan saudara, kerabat, atau orang tua Nia yang mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir.

Memang nasib seseorang tidak ada yang mengetahui. Karena semuanya telah digariskan oleh Sang Illahi. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian itu. Kadang kala, orang-orang merasa kurang bersyukur telah diberikan kelebihan rizki, kesehatan, dan keluarga yang lengkap.

Memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tapi apa salahnya jika kita selalu bersyukur dan introspeksi diri. Karena sebenarnya masih banyak orang-orang di luar sana yang bernasib malang dan kurang beruntung. (and)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun