Mohon tunggu...
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / Akuntansi / FEB/Universitas Mercu Buana

Nama : Andjani Ramadina Azzahra NIM : 43222120001 Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan etik umb

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 5 - Model Etika Komunikasi Habermas

10 Oktober 2024   00:01 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:33 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jrgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog berpengaruh, mengembangkan teori ruang publik yang signifikan dalam memahami dinamika demokrasi dan pembentukan opini publik. Teori ini, yang termaktub dalam karyanya yang monumental, Struktur Transformasi Publik (Strukturwandel der ffentlichkeit),  menganalisis perkembangan ruang publik borjuis di Eropa Barat dan implikasinya bagi demokrasi modern.

Apa itu Evolusi Teori Ruang Publik Habermas?

Perjalanan pemikiran Habermas tentang ruang publik dapat dipetakan melalui beberapa model yang saling berkaitan, mencerminkan perubahan perspektifnya seiring waktu.  Awalnya, Habermas menggambarkan ruang publik ideal sebagai ruang publik liberal (Habermas, 1989, bagian pertama).  Model ini menekankan pada komunikasi bebas dan rasional antar warga negara yang setara, di mana opini publik terbentuk melalui pertukaran argumen dan alasan.  

Ruang publik ini dibayangkan sebagai arena di mana warga negara dapat berdebat tentang isu-isu publik tanpa tekanan atau pengaruh dari kekuatan yang dominan, membentuk opini publik yang mencerminkan kepentingan bersama.

Namun, Habermas kemudian merevisi pandangannya, mengakui bahwa ruang publik liberal merupakan idealisasi yang sulit dicapai dalam praktik.  Ia mengidentifikasi adanya ruang publik yang sarat kekuasaan (Habermas, 1989, bagian kedua; 2006), di mana ketidaksetaraan kekuasaan dan pengaruh secara signifikan membatasi komunikasi bebas dan rasional. 

 Faktor-faktor seperti pengaruh media massa, kekuatan ekonomi, dan dominasi politik dapat mendistorsi proses pembentukan opini publik, menghasilkan opini publik yang tidak selalu merepresentasikan kepentingan bersama.

Sebagai respons terhadap keterbatasan model liberal, Habermas mengembangkan paradigma ruang publik Habermasian (Habermas, 1989b).  Paradigma ini menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif dan deliberasi dalam pembentukan opini publik.  Ia menggeser fokus dari struktur formal ruang publik ke proses komunikasi yang terjadi di dalamnya.  

Rasionalitas komunikatif, yang didasarkan pada argumen dan alasan yang rasional, menjadi kunci untuk mencapai kesepahaman dan legitimasi keputusan politik.

Puncak dari evolusi pemikiran Habermas adalah model demokrasi deliberatif (Habermas, 1996).  Model ini menekankan pada peran deliberasi publik dalam pengambilan keputusan politik.  Demokrasi deliberatif tidak hanya bergantung pada pemungutan suara atau representasi, tetapi juga pada proses dialog dan deliberasi yang inklusif, di mana warga negara dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembentukan kebijakan.  

Proses deliberasi ini bertujuan untuk mencapai konsensus yang didasarkan pada argumen dan alasan yang rasional, bukan pada kepentingan pribadi atau kekuatan.

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Jrgen Habermas, dalam Teori Tindakan Komunikatif (The Theory of Communicative Action), menawarkan kerangka teoritis yang penting untuk memahami interaksi sosial dan pembentukan norma-norma sosial.  Tulisan ini akan membahas mengapa teori ini relevan, menekankan pada alasan-alasan di balik pentingnya teori tindakan komunikatif Habermas.

Mengapa Teori Tindakan Komunikatif Habermas Penting?

Pertama, teori ini menawarkan alternatif terhadap pandangan instrumental terhadap tindakan sosial.  Pandangan instrumental, yang mendominasi banyak teori sosial, melihat tindakan sosial sebagai upaya untuk mencapai tujuan individual melalui manipulasi lingkungan.  Habermas berpendapat bahwa pandangan ini terlalu sempit dan gagal menangkap kekayaan dan kompleksitas interaksi sosial.  

Teori tindakan komunikatif, sebaliknya, menekankan pada aspek komunikatif tindakan sosial, di mana individu berusaha mencapai kesepahaman dan konsensus melalui dialog dan argumen rasional.  Ini memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang bagaimana norma-norma sosial terbentuk dan bagaimana masyarakat dipertahankan. (Habermas, 1984).

Kedua, teori ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis legitimasi norma-norma sosial.  Habermas berpendapat bahwa norma-norma sosial hanya dapat dianggap sah jika mereka dihasilkan melalui proses komunikasi yang bebas dan rasional, di mana semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang setara untuk mengekspresikan pandangan dan berpartisipasi dalam pembentukan norma.  

Norma-norma yang dihasilkan melalui paksaan atau manipulasi tidak dapat dianggap sah karena mereka tidak mencerminkan kesepakatan bersama.  Ini memberikan dasar normatif untuk evaluasi sistem sosial dan politik.

Ketiga, teori ini memberikan kontribusi penting bagi teori demokrasi.  Habermas berpendapat bahwa demokrasi yang ideal memerlukan proses deliberasi publik di mana warga negara dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembentukan kebijakan.  

Proses deliberasi ini harus didasarkan pada rasionalitas komunikatif, di mana argumen dan alasan, bukan kekuatan atau manipulasi, menjadi dasar untuk mencapai kesepahaman dan konsensus.  Teori tindakan komunikatif memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana proses deliberasi ini dapat dilakukan dan bagaimana legitimasi keputusan politik dapat dicapai.

Keempat, teori ini membantu memahami hubungan antara sistem dan dunia kehidupan (lifeworld).  Habermas membedakan antara sistem, yang merupakan struktur sosial yang diatur oleh mekanisme instrumental, dan dunia kehidupan, yang merupakan arena interaksi sosial yang didasarkan pada komunikasi dan pemahaman bersama.  

Teori ini menjelaskan bagaimana sistem dapat mengkolonisasi dunia kehidupan, menggantikan komunikasi rasional dengan manipulasi instrumental.  Pemahaman ini penting untuk menganalisis berbagai masalah sosial, seperti dominasi pasar dan birokrasi.

Kelima, teori ini menawarkan kerangka kerja untuk menganalisis berbagai bentuk tindakan, membedakan antara tindakan strategis (berorientasi pada keberhasilan) dan tindakan komunikatif (berorientasi pada pemahaman bersama).  

Pemahaman perbedaan ini penting untuk menganalisis bagaimana individu berinteraksi dan bagaimana norma-norma sosial terbentuk.  Ini juga membantu memahami bagaimana hegemoni negara dapat beroperasi, dengan menekankan pada manipulasi informasi dan tekanan untuk mencapai tujuan tertentu.

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Demokrasi deliberatif, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Jrgen Habermas, merupakan model ideal yang menekankan pada proses deliberasi dan dialog rasional sebagai jantung pengambilan keputusan politik.  Namun, merealisasikan model ini dalam praktik di ruang publik memerlukan strategi dan mekanisme tertentu.

Bagaimana Demokrasi Deliberatif Direalisasikan dalam Ruang Publik?

Pertama, perlu dibangun ruang publik yang inklusif dan aksesibel.  Ini berarti memastikan bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses deliberasi.  

Akses fisik ke ruang publik, akses informasi, dan kemampuan untuk mengekspresikan pandangan secara efektif harus dijamin.  Hal ini membutuhkan upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial, ekonomi, dan politik yang dapat membatasi partisipasi warga negara.

Kedua, perlu memfasilitasi komunikasi yang rasional dan bebas dari paksaan.  Proses deliberasi harus didasarkan pada argumen rasional dan alasan, bukan pada paksaan, manipulasi, atau tekanan.  

Ini membutuhkan mekanisme untuk memastikan bahwa semua suara didengar dan dipertimbangkan, dan bahwa proses deliberasi berjalan secara adil dan transparan.  Peran moderator atau fasilitator yang netral dapat sangat membantu dalam memfasilitasi diskusi yang konstruktif.

Ketiga, perlu mengembangkan mekanisme untuk mengelola perbedaan pendapat.  Perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam proses deliberasi.  Mekanisme untuk mengelola perbedaan pendapat ini harus dirancang untuk memastikan bahwa perbedaan pendapat tersebut dapat dibahas secara konstruktif dan menghasilkan kesepahaman atau konsensus.  Mekanisme ini dapat berupa aturan-aturan prosedur, mekanisme voting, atau mekanisme negosiasi.

Keempat, perlu menciptakan budaya deliberasi.  Budaya deliberasi yang sehat membutuhkan komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam proses deliberasi. 

 Ini termasuk kesediaan untuk mendengarkan pandangan orang lain, bersedia untuk mengubah pikiran berdasarkan argumen yang rasional, dan bersedia untuk berkompromi untuk mencapai kesepahaman.  Pendidikan dan sosialisasi politik sangat penting dalam menciptakan budaya deliberasi.

Kelima, perlu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.  Teknologi informasi dan komunikasi dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi proses deliberasi, khususnya dalam konteks ruang publik digital.  

Platform online dapat digunakan untuk memfasilitasi diskusi publik, mengumpulkan masukan dari warga negara, dan menyebarkan informasi.  Namun, perlu diperhatikan potensi bias dan manipulasi informasi dalam ruang publik digital.

Keenam, perlu mempertimbangkan etika diskursus Habermas.  Etika diskursus Habermas menekankan pada prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kebebasan berbicara, dan rasionalitas dalam komunikasi.  

Prinsip-prinsip ini harus menjadi panduan dalam merancang dan menjalankan proses deliberasi.  Ini memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dan bahwa proses deliberasi berjalan secara adil dan transparan.

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

DAFTAR PUSTAKA

  • Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. MIT Press.
  • Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
  • Habermas, J. (2006). Political Communication in Media Society: Does Democracy Still Have a Future?. Polity.
  • Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society. Beacon Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun