Mohon tunggu...
Andi Zulfitriadi
Andi Zulfitriadi Mohon Tunggu... Penulis - Aktivis Lintas Iman, Pegiat Spritual dan Perdamaian

Rasional, Ilmiah dan Alamiah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tamu Tuhan Menyisakan Kertas Koran

24 Mei 2020   14:19 Diperbarui: 24 Mei 2020   14:11 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andi Zulfitriadi

Bagi sebagian orang merayakan sebuah pesta merupakan kebahagiaan tersendiri, apatah lagi pesta kemenangan. Namun menjadi hal yang sedikit menyisakan pertanyaan, jika perayaaan kemenangan itu justru meninggalkan beban bagi yang lainnya.

Ibarat sebuah resepsi pernikahan, ada yang bertindak selaku tuan rumah dan ada tamu yang memenuhi undangan resepsi. Dimana tamu harus dilayani oleh si tuan rumah. Ada anggapan bahwa tamu adalah raja, maka si tuan rumah harus memperlakukan tamu sebagaimana layaknya seorang raja. Apakah betul anggapan itu?

Hari ini mayoritas umat Islam merayakan sebuah peristiwa penting, perayaan itu  didahului dengan melaksanakan puasa ramadhan selama 30 hari penuh. Perayaan itu dinamai sebagai hari ''Idul Fitri'' yang langsung diterjemahkan kembali fitrah atau kembali suci.

Fitrah dalam hal apa, atau suci menurut siapa? Betapa tidak, didepan mata saya pasca dilaksanakannya sholat IED secara berjamaah, di salah satu kompleks perumahan kota Makassar. Terpampang sisa-sisa kertas koran yang menumpuk di lapangan, tempat dilaksanakannya ritual tersebut.

Apakah ini anggapan bahwa tamu adalah raja, sehingga sang tamu berhak meninggalkan ''sampah'' berharap si tuan rumah yang akan membersihkannya.

Kemungkinan si tamu lupa bahwa tempat yang didatanginya atau yang lebih tepatnya, yang mengundang si tamu datang beridul fitri adalah tuan rumah yang memiliki langit dan bumi. 

Apakah si tamu hendak menyuruh panitia pelaksana membersihkan sisa kertas korannya,  dan menempatkan mereka sebagai pekerja sosial, atau justru berharap kepada Tuhan (selaku tuan rumah) yang membersihkan kertas korannya sembari si tamu berharap  dibersihkan pula dosanya.

Maka Tuhan dibebani dua tugas oleh si tamu. Pertama membersihkan dosa si tamu karena telah ''merasa'' menjalankan puasa 30 hari penuh. Kedua membersihkan kertas koran, karena si tamu lupa ''megajak'' kertas korannya pulang sembari menikmati opor ayam,.

Tuhan mengalah dan memilih membersihkan kertas koran, dengan menggerakkan tangan-tangan ikhlas panitia rumah ibadah, yang sedari awal telah siap mengantisipasi kemungkinan adanya tamu-tamu ''amnesia''. Yang hanya ingin bersih jiwanya namun lupa sampah kertas korannya.

Namun pada urusan pembersihan dosa, ternyata Tuhan berubah pikiran dan kemungkinan menangguhkan permintaan si tamu yang amnesia tadi. Lalu meyuruhnya menghadap pada bulan puasa tahun depan.

Tuhan agak sedikit jengkel dan memperketat aturan pengampunan dosa serta menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Aturan tersebut kemungkinan akan diumumkan-NYA pada puasa di tahun-tahun berikutnya. Semoga saja.

Dengan mekanisme surat edaran yang tersistematis, dari Tuhan kepada Presiden, Presiden kepada Gubernur, Gubernur kepada Bupati, Bupati kepada Camat, Camat kepada Lurah/desa dan seterusnya.  

Sehingga Tuhan tak lagi melihat ketidak sinkronan kebijakan pelaksanaan hari raya, yang satunya bilang di ''rumah aja'' yang lainnya ucap boleh di rumah ibadah.

Terlepas adanya perbedaaan sudut pandang menyangkut pelaksanaan hari raya, namun perbedaan itu diharapkan tidak menghilangkan esensi dari Idul Fiti itu sendiri. Cukup disayangkan jika hari yang dianggap sebagai perayaan kemenangan, sedikit terciderai oleh ketidak sinkronan  kebijakan pusat dan daerah.

Alasan yang menurut saya lebih penting dan lebih fundamental, yakni budaya mengotori dan membersihkan. Ini kebudayaan yang mestinya bersambung, tetapi sering terputus begitu saja oleh kebiasaan. Yang dimaksud bersambung itu ialah, siapa yang mengotori secara otomatis ia pula yang harus membersihkan. Sesederhana itu sebetulnya. Kata Prie G.S  dalam (Waras di Jaman Edan, 2013).

Lanjut Kang Prie, soal-soal yang sudah jelas sederhana itu tak henti-hentinya menjadi persolan rumit di negara ini. Contoh di WC-WC umum: ''habis kencing harap diguyur. Ini jelas bahwa mengguyur kencing sendiri itu kewajiban.

Hidup sungguh berisi urutan dan menjadi sederhana jika urutan itu dijalankan, mulai dari siapa saja yang mengotori harus pula mau membersihkan. Namun sesuatu yang dianggap sederhana itu ternyata tidak sederhana.

Dimana-mana terlihat kesibukan tetapi tidak jelas apa yang sedang dikerjakan. Ada begitu banyak kegiatan mengatasnamakan pembangunan, tetapi hasil pembangunan tidak pernah benar-benar dirasakan.

Semoga para elit bangsa di hari yang fitrah ini, lebih bisa bijak, dewasa dalam menentukan sikap, serta mampu memastikan kesejahteraan rakyat.         Dan tidak lagi mempertontonkan ketidak sinkronan kebijakan antar aparat.

Kiranya Allah melindungi saya dan kalian yang sedang menikmati opor ayam, meskipun hanya pemberian. Serta mereka yang dirundung kesedihan karena masih diselimuti kekurangan.

Kembalilah kepada fitrah sang pencipta dan janganlah pernah keluar dari garis edar-NYA, berhentilah menebar prasangka, maka barulah hidupmu akan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun