b). dengan sadar pula mengasingkan dan menyisihkan peranan
   agama/wahyu dari pelbagai perikehidupan dan penghidupan manusiaÂ
   di dunia. Jadi sekularisme secara tegas menyatakan nilai-nilai ilahiÂ
   jangan dibawa-bawa untuk menyelesaikan masalah dunia, negara,Â
   dan masyarakat.
Menyadari reaksi keras atas gagasannya, Cak Nur kemudian meninjau kembali ide sekularisasinya. Dia memandang bahwa mungkin lebih baik menggunakan istilah teknis yang lebih netral daripada "sekularisasi". Dalam tulisan bertajuk "Sekularisasi Ditinjau Kembali", mantan Ketua Umum HMI ini menulis:
"Terdapat perbedaan yang cukup prinsipal antara pengertian 'sekularisasi' secara sosiologis dan fisiologis. Dan sedemikian kontroversial istilah 'sekular', 'sekularisasi' dan 'sekularisme', maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral"
Penutup
Meskipun perjalanan menuju harmoni antara fitrah manusia dan agama terkadang diliputi gejolak pandangan modern, terdapat panggilan yang teguh pada setiap Idul Fitri. Momen ini tidak hanya menandai kemenangan atas hawa nafsu, tetapi juga mengingatkan kita akan hakikat kodrat manusia yang fitri.
Seperti disampaikan cendekiawan Muslim terkemuka, Nurcholish Madjid, agama adalah cerminan dari fitrah manusia itu sendiri. Ia menegaskan, nilai-nilai agama bukanlah penghalang, melainkan pelengkap dalam perjalanan kemanusiaan kita. Namun, dalam dinamika peradaban modern, tantangan untuk mengadaptasi nilai-nilai agama seringkali menimbulkan polemik.
Salah satu gagasan yang pernah diusung oleh Nurcholish, yaitu sekularisasi, mengundang beragam tanggapan dari sesama cendekiawan. Meskipun demikian, kebijaksanaan beliau untuk merefleksikan kembali pandangannya menunjukkan kedewasaan intelektualnya. Dalam meniti kembali gagasan tersebut, beliau mencermati penggunaan terminologi yang lebih netral, menandai komitmennya dalam mengejar harmoni antara  duniawi dan keagamaan.