Mohon tunggu...
Andi Zulfikar
Andi Zulfikar Mohon Tunggu... Freelancer - wirausahawan yang sedang usaha bangkit

Nama saya: Andi Zulfikar. peminat sejarah, politik, dan sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Cara 'Si Hidup Anak Si Bangun' Mendapatkan Tuhannya

26 Maret 2024   01:00 Diperbarui: 26 Maret 2024   01:03 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bikin yang sederhana menjadi ruwet, itu sih semua orang bisa. Tapi, membuat yang ribet jadi lebih sederhana,  tidak banyak orang yang mampu. Karena laku seperti ini membutuhkan kemauan dan skill tersendiri.

Dari yang sedikit itu, seorang di antaranya adalah Ibnu Thufail. Bagi Ibnu Thufail, filsafat itu bukan cuma boleh dipahami oleh orang-orang tertentu (ekslusif). Semua orang berhak mentadaburinya. 

Supaya masyarakat banyak lebih enteng mencerna pesan-pesan filosofis, Filsuf asal Andalusia yang hidup di abad 12 ini punya cara tersendiri. Dia mengemas pesannya lewat roman atau cerita-cerita layaknya novel atau cerita pendek (cerpen).

Tengok saja kisahnya dalam kitab yang bertajuk Hay Bin Yaqdzan (Si Hidup anak si Bangun). Sebuah karya yang diakui sebagai salah satu kitab paling aneh dalam abad pertengahan. Ini dia kisahnya (seperti yang dinukilkan Allahu Yarham Muhammad Natsir, "Capita Selecta")

"Arkian, adalah menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala, di daerah India, dibawah khatulistiwa, sebuah pulau yang dihuni seorang yang lahir tanpa bapak dan tidak beribu.

Hal yang demikian itu bisa saja terjadi karena hawa di pulau itu sangat nyaman dan paling bersih di dunia, karena mendapat cahaya dari ruangan langit yang paling tinggi.

Ada orang yang berkata, Hay bin Yaqdzan adalah salah seorang manusia yang demikian itu.

Akan tetapi ada pula orang yang berpendapat bahwa di dekat pulau yang dimaksudkan itu, ada lagi sebuah pulau yang amat ramai penduduknya. Pulau diperintah oleh seorang raja yang amat tinggi hati dan cemburu tabiatnya. Dia mempunyai seorang saudara perempuan yang selalu dihalangi bila hendak bersuami, karena menurutnya belumlah ada di antara mereka yang meminang, yang sejodoh dengan saudara perempuannya itu.

Walaupun demikian, saudara raja tersebut dapat juga kawin secara rahasia dengan seorang tani yang dicintai. Proses perkawinannya berlangsung sesuai peraturan agama yang berlaku di negeri itu.

Pada saat yang baik, dapatlah kedua suami istri itu seorang anak laki-laki yang mereka namakan "Hay bin Yaqdzan"

Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana suka-cita si ibu dan si bapak terpaksa diputuskan, karena terpaksa bercerai dengan anak mereka yang baru lahir itu, lantaran hendak menyembunyikan perkawinan mereka yang tidak disukai raja yang angkara murka itu.

Hay bin Yaqdzan diletakkan kedalam sebuah peti bertutup mati. Diiringi beberapa bujang dan teman sejawat yang setia, pergilah ibu membawa si jantung hatinya di malam yang gelap gulita ke tepi pantai, Di sanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk-redam dan air mata yang bercucuran diletakkan peti kecil itu di tepi laut serta berdo'a ke hadirat Ilahi : "Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau telah peliharakan dia semasa dia dalam kandunganku, dan telah Engkau peliharakan dia dari mula lahir sampai saat ini. Maka sekarang, kuserahkanlah anakku ini kepada kerahiman Engkau, Ya Tuhanku, karena takut pada raja yang lalim itu. Janganlah ia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin"

Kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu sekali setahun. Peti yang berisi bayi itu dibawa oleh alun, terapung-apung beberapa lama di lautan besar, tertutup oleh ranting-ranting dan daun-daun kayu, terlindung dari hujan dan panas matahari.

Setalah pasang mulai turun, terkandaskanlah peti tersebut pada pulau lain yang tidak didiami manusia. Setelah terhempas beberapa kali, dipermainkan ombak di tepi laut, pecahlah kunci peti itu, dan tersingkaplah kayu-kayunya.

Maka terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup sampai - karena kedinginan dan kelaparan itu - oleh seekor  kambing hutan yang kebetulan baru saja kehilangan anak. Disangkanya anaknyalah yang memanggil-manggil. Cepat ia berlari menuju suara. Kedapatan olehnya sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, peti pun belah dua. Dilihatnya seorang anak sedang menangis. Maka jatuhlah kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya, ganti anaknya sendiri yang telah hilang.

Pendek cerita... Hay bin Yaqdzan pun terus bertumbuh, dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, dan berumur lanjut serta matang.

Berkat penglihatnnya yang jernih, pendengarannya yang nyaring, perasaan dan akalnya yang tajam, dapatlah Hay bin Yaqdzan dengan pengalamannya sendiri bermacam-macam ilmu : berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain ....

Amatlah duka hati Hay bin Yaqdzan apabila kambing yang menyusukannya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Dicobanya memeriksa, apakah gerangan yang menyebabkan sakit itu. Dan setelah kambing hutan itu mati, diperiksanya kalau-kalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut.

Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya sampai tajam, diselidikinya bangunan dan susunan jantung (red - pelajaran anatomi).

Timbullah perasaannya, bahwa adalah sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu, yaitu sesuatu yang tidak bersifat kasat mata, tapi bersifat lebih halus dari itu, yakni ruhani yang apabila berhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup....

Dari kisah ini, Ibnu Thufail ingin sekadar mengatakan, inilah bukti yang tiada dapat diingkari bahwa segala yang terjadi di alam semesta adalah atas kehendak Zat yang dinamakannya Al-Wajibul Wujud Jalla wa Ta'ala.

Selanjutnya Ibnu Thufail melanjutkan kisahnya bahwa Hay bin Yaqdzan (simbolisasi akal) bersua dengan seorang manusia lainnya yang bernama Asal (simbolisasi agama). Dari sini, Ibnu ingin mengatakan bahwa akal tak akan sampai bisa menemukan 'Sang Pencipta' yang merekayasa segalanya. Akal hanya akan sempurna jika dituntun oleh agama. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad SAW: "Agama itu ialah akal. Tak ada agama bagi sesorang yang tidak berakal.

Meski cara penyampaian nilai-nilai filosofis Ibnu Thufail ini tergolong aneh, tapi tokh dia dapat juga pengikut di antara penulis-penulis bangsa Eropah. Sebut saja di antaranya Daniel Defoe (1660-an - 1731 M)  penulis cerita bertajuk "Robinson Crusoe" dan Jonathan Swift (1667-1745 M) penulis "Gulliver's Travels"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun