Mohon tunggu...
Andi Yani
Andi Yani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan peneliti bidang sosial dan politik

Pembelajar yang senang menyusuri jalan, mengunjungi kampung, bercakap dan berbagi ilmu sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Memelihara Literasi dengan Merayakan "Dickens Festival" di Deventer Belanda

27 Mei 2018   08:00 Diperbarui: 27 Mei 2018   15:33 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian pengunjung di gerbang festival (Dokumentasi pribadi)

Masinis kereta baru saja mengumumkan bahwa kami sudah tiba di Kota Deventer. Saya dan keempat kawan pun bergegas keluar kereta. Jaket, kaos tangan dan topi kupluk segera kami pakai. 

Di pintu kereta angin 8 derajat Celsius menyambut kami. Waktu di jam tangan menunjukkan pukul 11:38 pagi. Perjalanan 2 jam kami dari Leiden - setelah transit di stasiun Schipol Amsterdam dan Amersfoort - berhasil kita lupakan dengan beragam cerita mulai dari gosip selebriti sampai ke diskusi politik tanah air.

Kami pun mengikuti arus penumpang kereta yang juga beranjak keluar stasiun. Sepertinya sebagian besar penumpang kereta yang turun di Stasiun Deventer memiliki tujuan yang sama dengan kami yaitu Dickens Festijn (Festival Dickens). 

Sebuah festival tahunan untuk mengenang penulis novel dan cerita pendek (cerpen) Charles Dickens (1812-1870) yang terkenal di daratan Eropa dan Amerika Serikat pada paruh pertengahan abad 19. 

Sebelum kita ulas lebih jauh mengenai Festival Dickens di Deventer. Ada baiknya kita mengenal sepintas sosok Charles Dickens sang novelis yang berkebangsaan Inggris. Dickens memiliki latar belakang jurnalis sebelum serius sebagai penulis roman.

Kisah-kisah yang ditulis Dickens diangkat dari kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Inggris pada masa pemerintah Ratu Victoria (1837-1901). Tidak jarang kisah hidupnya sendiri menjadi inspirasi Dickens menulis setiap lakon dalam ceritanya. 

Salah satu isu sosial yang diangkat oleh Dickens dalam karyanya adalah pekerja anak. Tercatat dalam sejarah bahwa di zaman tersebut hanya sekitar 20 persen anak saja yang bisa menginjak bangku sekolah. Dickens sendiri harus bekerja di pabrik di usia 13 tahun karena Ayahnya harus mendekam di hotel prodeo akibat gagal membayar utang. 

Dua tokoh dalam cerita Charlen Dickens (Dokumentasi pribadi)
Dua tokoh dalam cerita Charlen Dickens (Dokumentasi pribadi)
Festival Dickens dirayakan oleh komunitas pecinta karya Dickens di sejumlah kota di berbagai belahan dunia. Sebuah tulisan yang di muat oleh Smithsonianmag mencatat 50 negara menyelenggarakan Festival Dickens[1]. Salah satunya Kota Deventer, Belanda. Deventer Festival Dickens pertama kali diselenggarakan pada tahun 1990 yang diprakarsai oleh seorang Ibu bernama Emmy Strik. 

Emmy mulai mengenal karya Dickens di usia 13 tahun ketika diajak sang ayah ke Inggris. Sejak itu, Emmy mengoleksi ratusan karya Dickens dan juga berbagai souvenir dan berbagai macam barang yang berkaitan dengan Charles Dickens dan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Emmy bahkan mengoleksi sekitar 600 kostum yang dikenakan para relawan yang berpartisipasi di Festival Dickens.

Deventer memang pas untuk menjadi lokasi festival untuk membawa para pengunjung festival seakan berada di Inggris pada tiga abad silam. Festival diselenggarakan setiap tahun selama dua hari pada akhir pekan sebelum liburan akhir tahun dan perayaan Natal. 

Lokasi festival dipusatkan di beberapa jalan tua di Deventer termasuk sebuah gereja tua di atas bukit. Di website dickensfestijn dijelaskan jadwal acara festival dan berbagai info tokoh-tokoh cerita Dickens yang akan hadir di festival ini. Di website juga dijelaskan agar para calon pengunjung harus bersedia mengantre sekitar satu sampai dua jam. 

Panitia tidak memungut bayaran tanda masuk yang membuat setiap tahun dibanjiri pengunjung. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 100.000 pengunjung dari berbagai pelosok kota di Belanda. Dickens festijn ini juga dibanjiri pelancong dari Jerman, Belgia dan Prancis yang khusus datang untuk bertemu 950 karakter dari beragam kisah-kisah Dickens yang disiapkan panitia.

Penduduk kota yang memainkan peran dalam festival (dokpri)
Penduduk kota yang memainkan peran dalam festival (dokpri)
Perayaan festival Dickens mengambil tema tertentu yang diambil dari salah satu novel Charles Dickens. Di kota asalnya di Kent, Inggris, misalnya, pada bulan Juni (musim panas) lalu mengambil tema David Copperfield. Sementara di Deventer, karena festival selalu diadakan pada bulan Desember menjelang hari Natal, maka temanya Christmas Carol.

Dalam barisan antre yang sangat panjang, sekelompok anak berusia 12-15 tahun hilir mudik membawa koper tua dan berpakaian anak gelandangan ala abad 19-an dengan wajah yang dicoreng hitam. Mereka kadang kala meminta pengunjung yang mengantre membantu mengangkat kopor usang yang kosong untuk diberikan ke kawannya yang lain. 

Kawanan anak-anak ini sering kali menggedor pintu rumah sepanjang jalur antrean dengan tumpukan kopernya. Ini bagian dari penampilan festival yang menghibur para pengunjung yang antre. Jalur antre dipagari pagar besi dan dijaga oleh para relawan panitia festival. Di pinggiran pagar anak muda berpakaian klasik menjajakan coklat, kopi dan anggur hangat ke para pengunjung yang antre untuk mengusir dingin yang makin menusuk.

Seorang lelaki dengan pakaian khas Abad 19 memberi salam (dokpri)
Seorang lelaki dengan pakaian khas Abad 19 memberi salam (dokpri)
Setelah antre selama sejam lebih akhirnya kami pun berhasil masuk ke arena festival. Seperti memasuki pintu waktu yang membawa kami ke Abad 19an. Para pasangan bangsawan Inggris yang berjalan dengan pakaian khas Victorian berseliweran sambil menyapa dengan sopan "Merry Christmas". 

Pertokoan didesain seklasik mungkin dan para penjaga toko berpakaian ala settingan waktu novel Dickens. Toko-toko barang antik juga memamerkan beragam koleksinya kepada para kolektor. Restoran dan cafe ramai diisi oleh para pengunjung. Semua pelayan dan penjaga toka berpakaian ala Victorian.

Karena festival ini bertema Christmas Carol, maka tentu tokoh utama novel yaitu Ebenezer Scrooge pun hadir di tengah pengunjung. Tuan Scrooge adalah orang tua kaya yang hidup sendiri, sombong dan sangat kikir. 

Aktor yang memerankan Ebenezer mengenakan top hat alias topi tinggi khas bangsawan Inggris lengkap dengan tongkat sambil berjalan pongah di tengah pengunjung. Tidak ketinggalan aktor yang berperan sebagai pengawal istana kerajaan dengan bedil jaman perang dunia pertama dan mengenakan topi khasnya bearskin cap. Dua lelaki pengawal istana ini berdiri tegap dan tidak berkedip meski diganggu pengunjung atau diajak selfie.

Di emperan toko banyak anak-anak yang berperan sebagai anak miskin. Duduk dengan muka sendu dan sedih berharap belas kasihan pejalan kaki. Ada juga sekelompok anak-anak pencopet yang berjalan beriringan dengan wajah dicoreng hitam dan membawa karung. 

Tidak ketinggalan pengembala domba dan keledai yang menggiring domba dan keledainya di sela-sela ramainya ribuan pengunjung. Di sisi kota lain juga ditemukan pasangan bangsawan sedang berpose di depan kamera besar dimana kepala sang fotografer harus ditutup kain hitam.

Ditengah ramainya pengunjung, tiba-tiba dikagetkan teriakan untuk menepi ke pinggir jalan. Serombongan kelompok sirkus membelah jubelan pelancong di tengah jalan kota tua Deventer menuju ke sebuah lokasi pertunjukan di pinggir jalan sekitar gereja. 

Ketika para pemain sirkus sedang bersiap-siap, tiba-tiba hujan mengguyur membubarkan para penonton sirkus. Sekitar 2 menit kemudian, hujan reda dan sirkus ala abad 19-an pun kembali dimulai. Para penonton kembali berjubel di sekeliling arena. Pemain sirkus ini mengajak penonton, khususnya anak-anak, untuk ikut terlibat dalam penampilannya yang kocak. 

Tidak tahan dengan dingin akibat basah terkena hujan di suhu 7 derajat, saya dan kawan-kawan bergegas ke gereja berharap bisa lebih hangat dalam gedung. Di dalam gereja sedang berlangsung pertunjukan kelompok paduan suara yang melantunkan kidung rohani, khususnya bertema Natal. 

Para penyanyi kelompok choir mengenakan baju ala Victorians dan diiringi dengan alat musik klasik. Selain pertunjukan lagu rohani, di bagian lain terdapat pameran yang memperlihatkan beragam koleksi Dickens. Pameran dibagi perbagian menurut judul novel-novel Dickens.

Di dalam lemari kaca dipamerkan novel asli dan berbagai jenis cetakan buku Dickens. Selain itu terdapat juga manekin dengan pakaian yang dikenakan tokoh di setiap novel. 

Setelah beristirahat cukup lama di gereja dan kembali merasa hangat. Kami pun memutuskan mencari restoran untuk mengisi perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Roti bekal dari rumah sudah ludes dimakan bersama secangkir coklat hangat. Angin dingin khas Belanda semakin menusuk seiring beranjaknya matahari. 

Kami pun meninggalkan lokasi festival ke sebuah supermarket dekat stasiun yang memiliki restoran dengan harga yang pas di kantong mahasiswa. Dua porsi roti keju dan tomat ditambah cappuccino hangat cukup mengganjal perut selama perjalanan kembali ke Leiden. 

Kami pun meninggalkan Deventer bersama kenangan cerita kritik sosial Dickens yang sebagian kisahnya masih terjadi di Indonesia. Sebuah pekerjaan dan tanggung jawab untuk kami generasi pelanjut bangsa ini ke depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun