Ketika para pemain sirkus sedang bersiap-siap, tiba-tiba hujan mengguyur membubarkan para penonton sirkus. Sekitar 2 menit kemudian, hujan reda dan sirkus ala abad 19-an pun kembali dimulai. Para penonton kembali berjubel di sekeliling arena. Pemain sirkus ini mengajak penonton, khususnya anak-anak, untuk ikut terlibat dalam penampilannya yang kocak.Â
Tidak tahan dengan dingin akibat basah terkena hujan di suhu 7 derajat, saya dan kawan-kawan bergegas ke gereja berharap bisa lebih hangat dalam gedung. Di dalam gereja sedang berlangsung pertunjukan kelompok paduan suara yang melantunkan kidung rohani, khususnya bertema Natal.Â
Para penyanyi kelompok choir mengenakan baju ala Victorians dan diiringi dengan alat musik klasik. Selain pertunjukan lagu rohani, di bagian lain terdapat pameran yang memperlihatkan beragam koleksi Dickens. Pameran dibagi perbagian menurut judul novel-novel Dickens.
Di dalam lemari kaca dipamerkan novel asli dan berbagai jenis cetakan buku Dickens. Selain itu terdapat juga manekin dengan pakaian yang dikenakan tokoh di setiap novel.Â
Setelah beristirahat cukup lama di gereja dan kembali merasa hangat. Kami pun memutuskan mencari restoran untuk mengisi perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Roti bekal dari rumah sudah ludes dimakan bersama secangkir coklat hangat. Angin dingin khas Belanda semakin menusuk seiring beranjaknya matahari.Â
Kami pun meninggalkan lokasi festival ke sebuah supermarket dekat stasiun yang memiliki restoran dengan harga yang pas di kantong mahasiswa. Dua porsi roti keju dan tomat ditambah cappuccino hangat cukup mengganjal perut selama perjalanan kembali ke Leiden.Â
Kami pun meninggalkan Deventer bersama kenangan cerita kritik sosial Dickens yang sebagian kisahnya masih terjadi di Indonesia. Sebuah pekerjaan dan tanggung jawab untuk kami generasi pelanjut bangsa ini ke depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H