Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Asal Muasal Tiga Cambukan di Punggung Gajah Itu

8 November 2024   05:44 Diperbarui: 8 November 2024   07:43 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam-malam ia duduk sendiri

di teras rumah sambil melamun

hantu-hantu di kepalanya hidup lagi.
membuatnya tak bisa tidur nyenyak
apalagi bermimpi

di sebelah laki-laki Tokoh Komedi Kita
ada secangkir kopi yang sudah dingin
yang juga, tak senang mengajaknya bercakap
tentang banyak hal yang membosankan.

Sepuluh jam seperti sepuluh ribu tahun.
Sepuluh ribu tahun bukan sepuluh jam.

Kembali,
Tokoh Komedi Kita
beberapa kali menguap
seperti corong minyak
tetapi selalu gagal yakin
itu bukan perkara mengantuk.
Namun ia anggap itu lucu.

Beberapa detik sebelum ia berhasil
mematik api untuk rokoknya
Tokoh Komedi Kita kembali tertawa.
Oleh pikirannya sendiri
Oleh hidupnya sendiri.

Bagaimana kalau hidupnya tak lucu lagi?
Apa benar (pada saatnya) nanti
ia akan berhenti tertawa?
dan ditertawai?

Pukul empat tiga puluh menit
telah lewat
ia melihat rombongan ibu-ibu pergi ke masjid
Ia ingat Tuhan, dan juga jamu pegal linu.

Ia ingat Ibunya.
Dulu ibunya pernah mengajarinya
dengan serius
"Jaga kesehatan kamu. Jangan capek-capek,
Tuhan lebih bahagia kalo kamu gemuk!'

Ia tahu betul
Ibunya suka bercanda.
Namun saat itu
ia tak tertawa.

Laki-laki Tokoh Komedi Kita kembali masuk
ke dalam kamar.
Menutup dirinya dengan selimut
dan bantal.

Samar-samar ia mendengar
dirinya sendiri terbatuk.

Segera Tokoh Komedi Kita
memejamkan mata
sebab, esok ia harus kembali ingat
oleh lelucon gajah gemuk.
yang kembali takluk dicambuk.

Andi Wi

(2024)

Sajak ini saya tulis untuk semua orang yang, terus merasa dirinya harus bertahan menjalani hidup. Pekerja serabutan, pekerja kasar, dan sebagainya. Yang mengambil gajinya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan.

Meski hidup dalam suasana yang mencemaskan, tetapi saya selalu ingin supaya semangat mereka terus hidup dan berkobar.

Terkadang saya keliru tentang: tak ada yang lucu dan patut ditertawakan dalam hidup mereka, alih-alih, penderitaan yang diratapi lebih besar ketimbang sebiji sawi kebahagian kecil yang mereka alami.

Syukurnya, tak pernah menyerah. Mereka terus bangun pagi. Rejeki seekor burung adalah ketika mereka harus meninggalkan sangkarnya.

Saya harap mereka bisa terus semangat. Meskipun luka cambuk kemarin malam di punggung mereka belum cukup kering. Tetapi tetap merelakannya, membiarkan, Hidup, mencambuknya lagi, di bagian lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun