pohon dulu yang pernah kau rawat dan minta padaku memeliharanya kini telah mati, dan mencoklat. aku tidak membunuhnya. pohon itu mati begitu saja usai aku bangun tidur dan sadar. aku langsung menangis begitu teringat pohon itu kamu sendiri yang minta padaku, untuk kurawat.
pohon itu kamu berikan sebelum pergi. ke tempat jauh, katamu. kau bilang, pohon itu pohon satu-satunya yang kau cintai. "Rawat baik-baik ya?"
aku merawatnya. sama seperti merawat diriku sendiri. kau mungkin sering kali berpikir aku orang meragukan. tapi, dua bulan setelah kepergianmu, aku tak bohong, pohon itu tumbuh semakin gemuk. dari hari ke hari. dari waktu ke waktu.
aku sering menatapnya saat malam tiba atau hujan turun tiba-tiba di siang hari. aku sering menatapnya sambil membayangkan wajahmu. aku sering menatapnya sama seperti aku sedang menatapmu. wajah itu yang tercetak di antara rating-ranting dan daun-daun kecil itu. saat aku sedang rindu.
aku sering mengajaknya bicara. aku sering mengajakmu bicara. tapi kamu tak dengar.
kini pohon bunga yang kamu minta padaku untukku rawat, telah mati. pada hari Kamis saat di luar jendela hujan deras. aku tidak membunuhnya. tapi sekarang... aku sendiri tak bisa mengembalikan kehidupan yang ada pada dirinya. seperti cinta kita. kehidupan selalu menemui kematian. seperti cinta kita. yang telah lama mati. yang telah lama mati.
***
Andi Wi
Pakuncen, 23 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H