Saat itu aku bertanya: apa kau bahagia bersamaku?
Kau tak segera menjawab. Aneh, kau malah mementingkan menghela napasmu. Namun itu membuatku paham. Barangkali kau hanya sulit membayangkan kata-kata itu keluar begitu saja dari dalam mulutku. Seperti bersin. Seperti flu. Â
Lantas gantian kau yang bertanya: Apa aku percaya kebahagiaan itu ada?
Kali ini giliranku yang menarik napas. Tak tahu mesti lekas menjawabnya atau tidak.
Aku punya gagasan buruk tentang masa depan di hadapanku, dan masa lalu di belakang aku hidup. Kau tahu itu.
Saat-saat tak sengaja menatap burung-burung di angkasa, jiwaku ikut terbang bersama mereka.
Saat-saat tiba dengan gelisah sebuah gayung berisi air dingin menyiram ubun-ubun kepalaku pagi hari, aku dapat merasakan seluruh tubuhku ikut membeku bersamanya.
Saat-saat menyaksikan bus kota berderak kencang, seolah menghampiriku, suara mesinnya berdebar hebat di dadaku, aku bahkan punya keinginan kuat menabrakkan diri di antaranya.
Kita punya kulit setipis kabut di siang hari. Dan andai seekor anjing menginginkannya kita tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Kita punya kepala sekeras batu kali tapi tak pernah cukup kuat untuk dibenturkan berkali-kali dengan kesetiaan nasib buruk dan kesedihan, yang menyertainya seperti rombongan pelayat.
Lantas, haruskah kau bertanya apakah aku percaya kebahagiaan itu ada atau "tidak"?