Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Chigarettes After Sex", Mengantar Kesedihan dan Bom Surabaya

15 Mei 2018   05:55 Diperbarui: 15 Mei 2018   07:04 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warga dari berbagai elemen menyalakan lilin saat aksi seribu lilin di Lapangan Gasibu, Bandung | Foto: kompas.com

Dari Cigarettes After Sex saya belajar banyak bahwa tak ada orang yang bakal menyakiti kita selama kita sendiri tak merelakannya. Tak ada yang sanggup membikin kita marah selama kita juga tak menginginkannya. Kau dan aku, tentu saja.

Malam ini ketika seseorang saya tanya kabar, dia malah balik bertanya: "Apa kabar?" kepada saya.

Lantas dia bertanya lagi: belum tidur? Saya jawab belum. Kau sendiri? Dia menimpali enteng: sudah. Tapi terbangun.

"Kenapa?"

"Entahlah. Tapi rasanya aku pengen jalan-jalan keluar rumah sebentar."

Setelah itu chat kami terputus. Saya tahu maksudnya. Kata "aku" dalam kalimat terbatas itu bermaksud menerangkan "dia ingin sendiri". Tolong luangkan waktumu tidak mengangguku untuk saat ini.

Saya bersedia. Dia sedang berduka dan saya tak boleh menganggunya.

Saya kenal orang-orang seperti dia. Kita adalah dia. Dalam sajak Sapardi Djoko Darmono tercermin betul orang-orang seperti kita.

Pada suatu pagi hari

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil 
Berjalan tunduk sepanjang lorong 
Ia ingin pagi itu hujan turun 
Rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil 
Menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Kalau tidak salah, dalam sebuah catatan harian "Selintingan" saya pernah menulis tentang seseorang yang lelah dengan gerakan yang diciptakannya sendiri. Tapi beruntung seseorang itu sadar apa yang dilakukannya sehingga itulah yang membuat hatinya tentram. Apa pun yang terjadi dengan Sisipus --yang mengangkat batu ke atas gunung dan setelah mencapai puncak batu itu kembali turun, menggelinding, dan ia mengangkatnya lagi dan batu itu merosot kembali dan seterusnya-- sebaiknya tak perlu dipikirkan.

Benar. Tapi mungkin kita benar. Kita bisa mengangkat seluruh beban di dunia ini. Tapi otak kita melindunginya untuk tidak melakukannya atau memilih melakukannya. Seperti kesedihan dan cara memandangnya dari ujung gedung.

Kemarin dan hingga hari ini, seluruh Indonesia berduka atas terjadinya ledakan bom yang menewaskan puluhan orang tak bersalah. Peristiwa yang amat menyakitkan bagi keluarga korban dan seluruh rakyat Indonesia.

Seperti halnya teman saya itu. Saya tak punya amanat, atau kata-kata menghibur yang bisa mengembalikan keceriaannya. Semuanya sudah terjadi. Tak ada orang yang bisa mengembalikan yang telah tiada. Tapi jika ingin berjalan jauh di malam hari, saat hujan rintik, melewati lorong, dan lampu jalan yang sepi dan dingin, saya janji tak akan menyapamu dengan bertanya: kenapa.

Namun saat saya menulis ini saya di rumah dan belum ingin tidur. Selesai menulis ini saya akan berdoa untukmu, hati-hati di jalan ya. Antar kesedihan itu jauh-jauh  Lalu lekas kembali. Lalu cepat pulang ke rumah.

Andi Wi

(*) Dicetak miring sajak Sapardi Djoko Darmono - Pada Suatu Pagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun