Hal paling dirindukan saat jauh dari rumah adalah berada di dekat rumah. Lalu tak lain, sarana yang jauh lebih intim dari sebuah rumah adalah keluarga.
Keluarga adalah pokok yang tak bisa dipisahkan dari apa pun. Saat kita dirundung masalah berat maupun ringan, keluarga adalah perisai pertama yang akan melindungi dan memotivasi kita tanpa menyuruhnya berbuat seperti itu.
Keluarga akan mendukung kita sekaligus melarang jika menurut mereka kita bertidak tidak benar.
Seolah-olah segalanya harus terhubung, keluarga berperan penting sebagai seruan peluit polisi penyebrang jalan yang menginginkan masyarakatnya aman. Mereka seakan-akan senang mengatur-atur kita, di situlah kita sebaiknya berdiri, dan sekaranglah saatnya pergi.
Sejak lulus sekolah, saya langsung merantau ke beberapa tempat yang memungkinkan saya untuk jauh dari keluarga. Dari rumah.
Saya amat takut ketika pertama kali merantau. Pikiran tentang apakah tempat baru yang saya kunjungi bakal menerima saya dengan layak dan tulus selalu melingkupi saya, mengganggu tidur saya.
Saat malam hari tak bisa tidur dan hanya menatap langit-langit kamar kontrakan, saya menelpon keluarga di kampung. Mereka mengabarkan: baik-baik saja. Mereka selalu baik-baik saja. Saya tidak. Tapi saya tak pernah berani bilang: saya seharusnya tidak di sini. Saya seharusnya bergabung bersama kalian.
Suatu kali, tanpa alasan yang jelas, di suatu lokasi yang jauh, saya terbangun dini hari di tempat yang sama sekali tak saya kenali sampai saya butuh beberapa detik untuk merasa sadar tidak asing bahwa kamar itu adalah kamar kontrakan saya sendiri.
Secara spesifik, saya adalah pribadi yang senang sendirian. Saya melakukan banyak hal sendirian. Saya tak pernah mengatakan apa yang saya rasakan, tapi saya cenderung memikirkan apa yang akan terjadi jika saya jauh dari keluarga untuk waktu yang lama. Â
Namun tepat detik ini, saya merasa cukup lega karena sudah bersama mereka. Setiap hari bersama mereka. Saya bisa menanyakan langsung kepada seorang perempuan yang kukuh dan giat, "Hari ini masak apa, Bu?" tanpa perlu bersusah payah menghubungkannya melalui jaringan telepon.
Saya juga bisa menemani ayah saya menonton acara tivi kesukaannya. Saya bisa menemani keponakan saya mengerjakan PR, atau sekedar menyuruhnya membikin teh hangat, kalau saya sedang malas melakukannya.
Ada perasaan tenang suka rela jika Ibu atau Ayah saya menyarankan saya untuk mandi lebih sering dari pada umumnya. Ada perasaan bersalah juga, yang cukup wajar jika mereka sekali-kali mengajukan pertanyaan: kapan mandi dan menikah secara bersamaan.
Saya memakluminya.
Keluarga adalah Tikus Uji Coba Pertama
Ibu saya pernah berkeinginan membuat kue. Kue yang enak dan laku dijual, begitu kira-kira cita-citanya. Seluruh anggota keluarga harus mencoba dan memberikan voting setelah mencicip masakannya.
Setiap kepala tentu punya pengalaman masing-masing tentang rasa lezat dan enak dan bayang-bayang makanan itu tak boleh dimakan.
Tapi Ibu saya bilang, "Kita dulu ya, yang mencobanya. Baru orang lain. Biar kalo ada apa-apa enak. Tinggal minta maaf. Oke?"
"Oke," jawab kami serempak.
Hal lain, dalam kasus lain. Ayah saya juga bahkan mengusulkan, "Oke, seorang laki-laki dalam rumah harus ada yang bisa mencukur. Dengan begitu kita tak perlu tiga bulan sekali pergi mengunjungi tukang pangkas rambut. Kitalah korbannya. Kita harus mengirit. Semua harus ikut berpatisipasi. Setuju?"
Adik saya paling bungsu terpilih sebagai tukang cukur itu. Lalu setiap punya keinginan potong rambut, maka dialah orangnya yang berhak mengeksekusi.
Saya jujur. Pertama kali dia mencoba, potongan rambutnya sangatlah jelek. Saya bahkan sangat malu ketika harus merapikannya kembali ke tukang pangkas rambut yang sebenarnya. Tapi dia bilang pada saya, "Maaf." Sambil menunduk, seolah-olah sangat menyesali perbuatannya.
Tapi syukurlah dia belajar dengan cepat sehingga makin ke sini, dia makin lihai memainkan guting dan sisir di tangannya.
Ya begitulah keluarga kami saling terjalin satu sama lain untuk mencapai kehangatan keluarga, kasih sayang, dan perasaan menjaga.
Negara adalah instansi paling besar dalam sebuah kedaulatan yang diakui oleh dunia. Tapi tidak dipungkiri, bahwa negara yang berbahagia adalah negara yang memiliki instansi keluarga baik dan hangat. Â
Salam
Andi Wi
14 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H