Ada satu pertanyaan penting yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Pertanyaan random yang jika dijadikan bahan obrolan sesama orang dewasa akan terasa sangat membosankannya.
Apa itu cinta?
Aku tak pernah memikirkan kata-kata itu karena bagiku sebelumnya tak terpikirkan akan mengajukan pertanyaan semacam itu. Kupikir bahkan aku tak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu layak dijadikan sebuah pertanyaan.
Aku punya tujuh cara untuk membahagiakan diri sendiri. Aku punya tujuh tempat yang bisa kukunjungi jika masyarakat tak menerimaku lagi. Aku punya tujuh catatan dan sedang memikirkan menambahkannya jika dalam waktu dekat ini tak bisa tidur di bawah pukul dua pagi.
Sedangkan cinta? Aku bersumpah aku lebih suka hal-hal teoritis sesuai pengertiannya secara umum. Cinta adalah reaksi kimia. Cinta adalah sama halnya seperti perasaan panik yang kapan saja bisa muncul. Saat bos kita tanpa pemberitahuan lebih dulu minta laporan pajak padahal kita adalah tukang kebun. Atau perasaan tikus yang tak pernah menyadari jebakan di depannya.
Kadang-kadang aku memang mengatakan pada seseorang aku mencintainya begitu dalam. Namun begitu selesai mengatakannya sedikit banyak aku merasa bersalah.
Bukan karena terlalu banyak menggunakan kata-kata penyair. Akan tetapi terlalu takut mengahadapi pertanyaan susulan seperti: Memangnya apa sih yang kamu cintai dari diriku?
Aku pasti tak mungkin sanggup menjelaskannya, apa yang kusukai darinya. Dan saat itulah, perasaan tiba-tiba ingin sekali berubah jadi gozila itu pun muncul kembali. Gozila yang tanpa alasan yang jelas ingin mengamuk di tengah-tengah penduduk kota. Gozila yang menyemburkan api dari balik pangkal lidahnya.
Temanku mencintai istrinya. Aku tidak bercanda. Tapi yang membuatku heran, dia tak pernah ingin menjadi gozila. Dia tetap ingin jadi manusia meski kubilang berkali-kali jadi manusia itu sungguh sulit dan betul-betul bukan pilihan baik. Tapi sangat disayangkan. Temanku sangat keras kepala.
Manusia adalah robot paling canggih yang pernah terciptakan. Mereka begitu rumit sampai diri mereka sendiri sering tersesat dalam program yang mereka buat  sendiri. Dan apa itu cinta? Setiap robot punya jawaban masing-masing.
Aku sering menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, melihat: sebuah robot yang menunduk begitu rendah kepada robot lain. Sampai tingkat yang mengkhawatirkan bahkan kupikir mereka lebih mirip seorang figuran budak yang tak dibayar seumur hidup.
Untuk menyaksikan hal semacam itu, aku tahu, aku butuh banyak keberanian. Sebab rasanya sungguh menyakitkan membayangkan apabila aku akan jadi orang berikutnya yang akan menjadi budak tersebut. Memikirkannya membuatku ingin menangis.
Untuk cinta itu sendiri, cinta yang dirasakan bersama-sama, mengapa kita membalasnya dengan cara yang berbeda?
Jika ini sama saja bagiku, rasanya aku tak ingin memetik bunga untuk orang lain.
Andi Wi
Ajibarang, 26 Febuari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H