Saya pernah. Saking kesalnya sama seorang teman mengunggah foto semacam itu, saya mengkritik sikapnya habis-habisan dan memintanya untuk menghapus foto tersebut.
Saya bilang, dengan agak memohon, "Tolonglah. Hapus foto kayak gitu. Bukan apa-apa. Tapi ini bodoh. Harusnya kamu punya sedikit saja rasa empati pada si korban dan juga keluarga si korban yang terkena bencana. Buat apa kamu membagikan informasi visual kayak gitu? Cukuplah memberitahu, dan bersedih. Kalau perlu ikut berbela sungkawa. Aku temanmu. Aku berhak menasehatimu jika ini salah. Segera hapus!"
Teman saya menjawab, "Tapi kan, Ii, ini buat pelajaran mereka-mereka juga yang di luaran sana. Kalau kita ini harus hati-hati. Terus kita jadi waspada."Â
"Menurutmu gitu?" Kata saya. "Itu justru bikin orang takut ambil risiko. Semua orang tahu cara mempertahankan diri, semua orang tahu cara menyelamatkan diri. Itulah sebabnya kita enggak punah-punah. Tapi yang namanya bencana bisa terjadi kapan aja. Meski kita ini udah waspada tingkat kecamatan. Nggak ada gunanya share gambar begituan. Kasian keluarganya. Coba bayangkan kalau itu terjadi sama keluarga kamu. Apa yang akan kamu lakukan kalo adikmu kecelakaan dan aku ikut share fotonya yang berdarah-darah. Tulangnya remuk, dll? Apa yang mau kamu bilang sama aku?"
Akhirnya teman saya menghapus foto unggahannya.
Akan tetapi, saya tak mungkin bisa menasihati semua orang yang saya kenal dan tidak saya kenal dengan cara yang sama saya lakukan terhadap teman saya di atas. Maka dari itu saya menulis ini.Â
Sudah sejak lama saya ingin sekali menuliskan ini. Saya ingin sekali, saya berharap, tulisan ini bahkan bisa mewakili isi hati korban dan keluarga korban yang terkena bencana.
Untuk korban bencana tanah longsor Pasir Panjang, Brebes.
(*) Di media sosial semua hal mudah sekali disebar karena berbagai macam informasi ada di sana. Mohon pertimbangannya jika Anda ingin menyebar informasi, bijaklah menyebar informasi yang bermanfaat.Â
SalamÂ
Andi Wi
Ajibarang, 25 Febuari 2018