Mendengar The Spirit Carries On mengingatkan saya tentang saya yang berada di dalam masyarakat. Saya tahu orang-orang membenci saya. Sebagian menyukai saya karena mereka menganggap saya cukup jinak untuk ditaklukan, tapi sebenarnya dari merekalah ketakutan saya berasal. Saya tidak tahu siapa musuh saya, tidak cukup tahu cara menghadapinya, tidak pernah terlahir dengan strategi menghadapi yang tak pernah saya duga.
Saya telah mempelajari banyak hal. Pergi amat jauh dan menjumpai banyak wajah yang tak saya kenal. Saya pikir, besok saya bisa hidup di antara cerita orang-orang yang saya jumpai di sepanjang jalan. Saya tidak takut, andai kata mereka menceritakan saya, keburukan saya.
Saya bukan penipu. Itu yang saya inginkan. Namun jika mereka  menganggap saya seorang pengkhianat saya pikir itu sepadan. Dalam segala hal selalu ada dua kemungkinan. Semua baik-baik saja. Toh, saya juga tetap akan mati, dan dilupakan dalam gagasan pendek mereka. Sebab sepanjang waktu berjalan, itulah yang terjadi.
Setiap kehidupan menghendaki kematian. Itu benar. Namun kalau boleh berharap, jika saya digantikan, saya hanya akan digantikan dengan yang lebih baik dari apa yang telah saya lakukan.
Saya mati. Jiwa saya tak lagi memenuhi ruang dan waktu dan itu akan jauh lebih baik dari semua kebenaran yang seringnya selama ini membuat saya takut.
Saya mati. Saya bukan lagi saya karena setelah itu saya tak memiliki nama atau riwayat identitas untuk membuat diri saya perlu menengok saat dipanggil. Â
Saya mati. Tubuh saya disukai cacing yang semasa hidup saya hindari namun kini saya justru membiarkan merera memeluk saya. Saya tak akan melawan. Saya ijinkan mereka menghabisi saya seperti dulu saya pernah menghabisi mereka dengan mata pancing, dengan menginjak kepala mereka karena tak sengaja telah menghalangi langkah saya.
Kenyanglah mereka. Dan sesudah itu saya tahu mereka juga akan mati; dan tubuh mereka, yang sudah memakan tubuh saya, akan sama-sama membusuk di bawah tanah.
Satu pergerakan kecil sangat berpengaruh. Sebuah angin bertekanan akan mengangkat tanah itu dari permukaan membawa debu-debu kecil dan ringan ke atas. Debu itulah butiran abadi sisa-sisa tubuh saya yang selalu tak lebih dari benda kecil yang tak akan lagi bisa dikenali perangainya oleh siapa pun. Oleh siapa saja.
Debu yang berputar-putar di atas tanah kuburan sebelum akhirnya dihempaskan oleh angin ke suatu tempat yang lebih terombang-ambing dari sebuah perhitungan yang tak bisa dihitung.
Debu itu akan terpecah, terbelah, terpencar, dan sisanya akan memilih tinggal. Debu itu adalah saya, dalam bentuk yang terbagi-bagi banyaknya. Debu itu adalah saya, saya yang lain, saya yang lebih lain dari saya yang lain pula.