Baik. Jadi sampai hari ini, saya masih bisa percaya bahwa saya lebih bahagia dengan aktivitas yang berkaitan dengan kreativitas, khususnya menulis. Saya tak pernah bisa berkata lebih jujur dari pada itu.
Dulu sekali, saya pikir, menulis itu cuma hobi. Kesukaan yang serta-merta dijalani karena waktu senggang. Namun demikian, semakin ke sini, saya pikir itu tidak adil. Sebab, saya masih bisa yakin bahwa saya ingin menghabiskan sebagian besar waktu saya hanya untuk menulis. Seperti orang jatuh cinta. Saya ingin mengesampingkan aktivitas lain-lain yang menuntut saya supaya tidak fokus padanya. Kecuali menulis dan menulis.
Jatuh Cinta Kepada Kompasiana
Saya bergabung di Kompasiana Febuari 2015 dan memutuskan menulis atau menggunggah tulisan pertama saya di hari itu juga. Lantas hari itu juga, saya yakin betul tujuan saya menulis di platform, blog kroyokan ini utamanya adalah belajar. Belajar dan belajar.
Belajar membuat saya jatuh cinta. Sampai sekarang tentu saja, bisa dimaklumi, bahwa alasan saya tetap menulis di Kompasiana tak lain adalah keinginan belajar saya.
Saya belajar banyak hal di Kompasiana. Saya belajar menulis, menata cerita, melatih kepekaan rasa dan respon pembaca terhadap karya-karya saya. Bacaan apa yang mereka sukai, tentang bacaan apa yang mereka inginkan dari pada sebuah pertunjukkan kreativitas yang bisa berkembang dan tidak ajeg. Dan itu sangat menyenangkan bagi saya. Sebab saya serasa dituntut menyuguhkan karya-karya berbeda ditiap kesempatan saya mengunggah tulisan.
Namun ya, meskipun pada akhirnya, mesti saya akui, apa yang saya hadirkan dalam karya-karya saya, kadang-kadang lumayan mengecewakan. Sampai kemudian saya belum sepenuhnya benar-benar memuaskan para pembaca.
Akan tetapi lepas dari itu, beberapa hal saya pikir boleh diingat sebagaimana halnya orang jatuh cinta saya kepada kepada Kompasiana. Barangkali memang bukan untuk para pembaca, namun untuk diri saya sendiri.
Saya Mencintai Maka Sebaiknya Saya Mengenang Â
Kenangan Selama Ber-Kompasiana
Kenangan tak melulu berbentuk mewah. Asal ia sederhana, asal ia senantiasa segar di ingatan kita, niscahya senjanya tak akan pernah lekang dihisap zaman. Â
Dua puluh tahun ke depan, jika saya diberi umur panjang, saya pasti yakin betul; saya akan selalu ingat moment dimana saya pernah masuk dua kali menjadi Nominasi Best In Fiction di Kompasiana. Tentu saja. Sebab itu bukan kenangan yang mudah dilupakan.
Usaha keras saya melupakan tulisan-tulisan saya setelah mengunggahnya, akan tetapi justru apresiasi yang kerap saya dapat, yang semakin dipikirkan semakin bikin saya terharu. Diberikan langsung oleh Kompasiana, dan tentu saja, oleh teman-teman Kompasianer semua. Yang sempat-sempatnya memilih saya dua kali masuk nominasi.
Namun, ya, untuk diri saya sendiri, jika memang kenangan itu belum cukup, apa yang membikin saya sampai hati mencintai Kompasiana, tentu dengan senang hati, saya akan menceritakan kisah yang lain. Â
Misalnya ketika saya memenangi lomba kepenulisan. Blog Kompetisi yang diadakan di Kompasiana. Banyak. Yang terakhir, saya memenangi lomba dari BKKBN sebagai satu dari lima pemenang yang berkesempatan.
Itu sebuah kenangan tak terlupakan bagi diri saya yang sejatinya sering dikutuk untuk kalah. Keponakan saya sering mengalahkan saya dalam banyak hal. Dua butir apel merah manis adalah miliknya semua. Seribu seratus sepuluh calon pelamar kerja, seratus di antaranya berhasil ke tahap interview, saya bergabung lunglai bersama seribu sepuluh calon pelamar yang gagal. Kompetisi memang tak pernah menyenangkan.
Oh, apa tadi saya sudah mengatakan bahwa saya baru saja menang lomba kompetisi dari BKKBN yang diadakan di Kompasiana? Semoga sudah ya... Hehehe.
Um. Sedikit tambahan. Saya, tentu saja, tak pernah ingin menyianyiakan hasil kerja keras saya ketika mendapatkan hadiah.
Rata-rata, hadiah-hadiah yang saya dapatkan dari Kompasiana, biasanya saya invetasikannya jadi sebuah barang yang berupa fisik. Saya belikan macam-macam. Ini saya maksudkan biar saya tak lupa bahwa saya mendapatkannya dari mana dan dengan cara apa.
Seseorang mengirim pesan facebook yang saya tautkan di akun profil Kompasiana saya, karena menurut lapornya, ia menyukai tulisan-tulisan saya yang saya unggah di Kompasiana. Lalu tanpa tedeng aling-aling, ia berkata: kangen. Tanpa tanda kutip. Â
Saya tak tahu siapa beliau sampai kemudian ia mengajak kami bertemu. Sebetulnya ceritanya cukup rumit. Tapi mari saya sederhanakan.
Kami bertemu dan ternyata ia datang dari jauh. Dari Garut langsung. Meskipun ya, ia memang dalam perjalanan mampir, meskipun ya saya sedikit kecewa bahwa kenyataannya ia tak membawa dodol.
Akan tetapi, saya pikir, bukan perkara dodol atau tidaknya pertemuan itu terjadi. Sebab ini berarti, tulisan saya sudah dibaca banyak orang dan paling penting mereka menyukainya. Kemudian yang perlu digaris bawahi bahwa pertemuan saya dengan Tuan yang Tidak Membawa Dodol tersebut adalah semata-mata karena peranan penting Kompasiana di tengah-tengah pertemuan itu. Orang yang sama sekali baru, sebelumnya tidak saling mengenal satu sama lain, jauh-jauh berkunjung hanya demi bertemu saya. Ah. Bukankah itu kejadian mengharukan?
Yep. Tak salah, tak bukan, ini pasti ulah Kompasiana yang terlalu sering mempromosikan nama saya, karena memang saya menulis aktif di sana. Selain itu, saya bukan siapa-siapa. Apalagi jika saya berpikir bahwa sebetulnya saya ini manis? Atau unyu? Sebaiknya sih cukup karya-karya saya saja yang numpang narsis. Saya tak boleh. Sudah tua. Inget umur. Begitu pesan ibu saya.
Begitu pula dengan sikap perlu diwaspadai. Saya pikir itu tidak penting. Sebab saya bahkan lebih sering takut dengan pikiran bahwa sewaktu-waktu bisa terserimpung kaki sendiri.
Karena jujur saja, kalau diminta memilih, saya lebih suka pilihan yang kedua. Tanpa resiko.
Hmmm. Oke. Sudah waktunya mengakhiri tulisan saya. Namun pertama, ijinkan saya ucapkan terimakasih buat Kompasiana, yang sudah mau menampung semua tulisan-tulisan saya. Kedua, telah memberikan begitu banyak perhatiannya kepada saya melampaui harapan.
Saya tak punya keluhan. Kompasiana memang kadang-kadang memang suka eror. Ngadat. Dan bikin ngambek karena sulit diakses. Seperti sebagaimana sebuah truck menanjak dan kelebihan muatan. Pesan saya. Semakin menanjak, menanjak dan menanjaklah. Dan jangan lupa servis terus mesin dan perhatikan betul perawatannya. Biar tetap segar dan gahar. Itu saja.
Eh. Yang ketiga hampir saja ketinggalan.
Ulang tahun ya? Selamat, selamat dan selamat. Semoga Kompasiana semakin menanjak dan bisa menampung lebih banyak bagasi sekaligus makin banyak dicintai oleh semua kalangan. Hehehe.
***
Andi Wi
9 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H