Kereta melaju seperti kecepatan cahaya, atau kecepatan angin minggat ke arah yang tak terduga. Lalu seketika selintas gerbong menjadi gelap gulita -mungkin sedang memasuki lorong sunyi- dan saat itulah hatiku mendadak berdegup. Tak bisa merasakan apa-apa. Hanya berdegup. Aku bahkan tak bisa merasakan angin di sekitarku. Kemana perginya angin-angin itu?
Namun sesaat kemudian kereta mulai melambat, dan berderit -di pemberhentian pertamanya- dan setengah hatiku ingin memutuskan setengahnya lagi yang menjadi pertimbangan sepenuhnya padamu. Aku sebaiknya cukup menyesali kesempatan kita berpisah saja. Bukan berharap menarik ulur dirimu di tiap kesempatan aku ingin kembali ke masa lalu itu. Ke tempat jauh itu. Hingga di masa depan tak mestinya buatku salah tingkah karena sebuah penyesalan yang sebetulnya kubuat sendiri.
Kalau saja penyesalan itu punya alamat, pasti akan lebih mudah untuk kita mengunjunginya dan meminta maaf.
Setiap merasa gelisah, aku mencari-cari doa penenang yang ada di dalam hatiku. Tak lain, untuk mendoakan diriku sendiri, mendoakanmu. Dan itulah yang kulakukan sekarang ini ketika mengingatmu.
Maka kelak setelah perpisahan ini, jika kau melihatku melalui mata orang lain, bahwa aku telah melupakanmu, percayalah bahwa yang mereka lihat itu bukan aku. Melainkan kesepianku yang cakap memilih doa di dalam hati.
Oleh karena itu, barangkali perpisahan ini bisa menjadi lebih menarik. Sebab tujuanku mencintaimu sekarang, bukan lagi soal penyesalan yang berlarut-larut menginginkanmu kembali bersamaku lagi, melainkan kesepian panjang itu yang serta merta turut menyertaimu dalam doaku.
Ajibarang, 15 Oktober 2017