Seperti yang kau bilang. Kita harus bahagia.Â
Dengan cara apa? Â Terserah aku, jawabmu.Â
Seolah ingin membebaniku.
Seolah tak ingin membebaniku.Â
Berkatalah mereka kepada seorang yang sepertiku, "Sabar. "
Sambil menepuk pundakku sekali.Â
Betapa kosong dan hambar kalimatmu. Â
Lorong dingin nan gelapÂ
tempat lumut-lumut berkembang biak, di kepalaku. Â
Sebuah bayang-bayang yang memboncengÂ
Di jok belakang sepeda motor
adalah bayang-bayang pengendara itu sendiriÂ
Bagaimana kalau benar? Angin itu memiliki perasaan, punya sifatÂ
dan keinginan mendasar seperti mencintai, setia terhadap jenisnya, peka terhadap rasa sakit dan luka.Â
Seseorang tiba-tiba terhentiÂ
Menutup buku yang baru ia baca,Â
begitu sedihÂ
mendengar ada yang berbisik, "Coba kau bisa mencintaiku apa adanya. Â Aku pasti juga akan menerimamu apa adanya."
Senyumlah karena tugasmu sekarang sebagai kasir yang tak pernah mengeluh menyapa dan mengaku hidup untuk bersedih dan mengoreksi harga-harga
Sebab hal terpenting di hidup ini selalu butuh
Akhir yang sederhana. Â
Kalau kau katakan ya, itu pasti tak akan mengubah apa pun.Â
Andai apa pun bisa diubah. NamunÂ
Yang dihitung bukan seberapa banyak seekor burung cakap bersenandung
Sebab perasaan selalu kunoÂ
Untuk didengar sebagai siaran radio yang dilantunkan tanpa bisa dikomentari. Â
TapiÂ
tinggalah barang sejenakÂ
Karena alasannya selalu sama: aku masihÂ
ingin di sebelahmuÂ
Mengendus angin; udara yang baru saja kau embuskan dari rongga paru-parumu.Â
Aku pun ingin mendengar kau berkata: mengapa kita harus bahagia?
Dan biarlahÂ
hujan yang kemrisik brisikÂ
bagai gelombang yang kehilangan salurannya, sementara biar
Aku tak bisa menimpalimu lebih banyak.Â
Dari keinginanku melompat mengajak bayang-bayangmu atau bayang-bayangku
Pergi ke tempat masa lalu itu. Seorang diri. Â
__
Ajibarang | 12 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H