Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perkara Kamu dan Caramu Muncul Itu

29 Mei 2017   17:42 Diperbarui: 29 Mei 2017   20:12 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap Hari Adalah Akhir Pekan

Setiap kali melihat kau tersenyum, aku menyaksikan sebuah kamar yang menjanjikan kehangatan bagi penghuninya. Selimut tebal yang dirajut dari tangan kekasih dan sayang, lampu tidur tidak terlalu terang dan jendela yang bisa menghadirkan kupu-kupu pagi hari di balik kaca tipisnya yang berembun.

Setiap kali melihat kau tersenyum, aku menyaksikan mata yang merekam jalan-jalan kecil yang sanggup menuntun orang tersesat kembali ke rumah ibunya. Aku bisa melihat diri ibu di dalam diri kau yang tersenyum seperti cara ibuku tersenyum saat menyambutku di halaman depan rumah.

Melihat kau tersenyum, aku seperti melihat mentari yang benderng pukul delapan pagi setiap akhir pekan yang melelahkan selesai mencuci pakaian-pakaian kotorku. Lalu aku yang rentan kesepain bisa mencium sebuah rencana simpel untuk kembali ke kamar, kembali ke dalam kehangatan itu. Kepadamu aku ingin kembali tidur dan memimpikan diriku yang tersenyum melihat kau tersenyum. 

Kemarin

Saya ingat hari kemarin

Ketika semuanya berbelok

Menyembunyikan terlalu banyak

Sampai pada akhrinya membawa saya

Meninggalkan tepi jalan

Gadis kecil dalam foto, tak pernah datang

Menemukan saya

Di tengah-tengah benteng bertahan

Di tengah pertunjukkan

Di sini waktu seperti berpacu

Mesin yang kehilangan keahliannya

Kemarin adalah jalan keluar

Tapi saya benar-benar berharap

Mimpi memantulkan tubuh saya

Bicara, bicara, bicara

Menggaris bawahi kata-kata:

Apa yang ingin saya dengar

Saya tak bisa berteriak

Langkah mundur tak pernah berlaku

Di dunia ini. Dunia yang tak bisa dipanjat

Mengaburkan kapas-kapas.

Perkara Kamu dan Pelukan Itu

sejak dulu aku sudah curiga

kau laut yang tak bisa tumpah

dasar gelombang yang tak ingin

membuat matahari tenggelam

magenta mahir memulihkan warna mata ikan-ikan

camar yang tak lagi suka

menyamar kesedihan gadis pantai

sejak mula lahir, aku sudah mahir mengubah

benda-benda menyaru

kugubah pasir-pasir,

cangkang sepatu,  apa saja

yang bisa menyerupaimu

seorang yang alasan satu-satunya aku

aku ingin berguru pada kepiting sepertimu

dari hidup yang sebentar

terus-terusan membuatku miring dan memar

sebab, kekasih

dunia yang paling ganas, oh

menyimpan luka perih 

di tubuh anak petani sepertiku

yang tak pernah bisa mengajari

batang kelapa, anak-anak angin

menyanyi, bersiul di tepi pantai

ketika tak ada yang sama

caramu menyeka dan merangkul

paling hangat itu. 

Perkara yang aku tahu betul cuma kamu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun